Jari-jariku mendadak berhenti bergerak dan tidak menari-nari lagi di atas keyboard laptop. Hari ini mungkin aku gagal lagi menuntaskan seribu kata untuk proyek novelku. Aku lelah seharian di depan monitor, berpikir menentukan plot yang sesuai dan menyusun diksi kalimat yang kuat.
Kulirik jam, menunjukan pukul dua malam dan aku menguap. Rasa kantuk kali ini begitu kuat menyerangku. Namun kuurungkan niat untuk segera pergi ke alam mimpi, aku belum sholat malam. Masih ada waktu tiga puluh menit sampai jam setengah tiga. Waktu yang kurasa baik untuk sholat malam.
Sambil mengisi jeda waktu, aku memilih untuk berselancar menjelajahi internet. Seperti biasa aku membuka facebook, ternyata ada empat komen dari Tini atas note-ku yang berisi draft BAB V novelku. Aku tersenyum geli membaca komennya. Dia benar-benar membimbingku, agar novelku terkesan benar-benar real.
Seperti biasa dia mengusulkan konflik-konflik selanjutnya yang akan kutulis dalam bagian novelku berikutnya. Tapi aku sedikit pesimis untuk bisa membuat konflik serumit itu, karena aku paling tidak tega membuat konflik berat atas tulisanku. Kasihan pembaca, tambah banyak pikiran kalau baca tulisan yang berat.
Tak lama, ada pemberitahuan Tini mengomentari pesan dindingku. Ternyata dia sedang online. Aku sudah hafal dengan jadwal dia online. Kondisinya tidak memungkinkan untuk dia menikmati siang terlalu lama. Aku langsung membaca komennya.
“Kamu mesti pergi ke negeri khayalan tepatnya. Jalu, Batpoh, dan Japing tinggal di desa jamur.” Dia menjawab pertanyaanku atas tiga tokoh imajinasinya itu. Sebelumnya aku memang bertanya, di mana ketiga tokoh imajinasinya itu berada karena aku mau kenalan. Ada-ada saja pertanyaanku itu.
“Naik apa ke sananya, Tin? Adakah sketsa barunya?” Balasku kemudian.
Aku bisa memastikan dia sedang menuntaskan hobinya menggambar sketsa kartun ciptaannya. Dia pernah bilang padaku kalau dia suka sekali menggambar dan aku dapat melihat hasil karyanya itu di blognya.
“Naik kereta fantasi yang langsung menuju negeri khayalan. Sketsa udah jadi tinggal pewarnaan. Cuma lagi off pewarnaannya. Lupusnya lagi ngambek, kemarin aku banyak pikiran.” Ada rasa nyeri ketika membaca kalimat terakhir.
Lupusnya kumat, aku tahu penyebabnya. Kepergian temannya yang mendadak kemarin, ternyata benar-benar membuatnya terpukul dan bersedih sampai-sampai ia harus merasakan kembali kekejaman atas kumatnya lupus.
Aku belum pernah bertemu dengannya, kami hanya saling kontak melalui dunia maya. Perkenalan kami terjadi tidak sengaja, saat aku sedang riset penyakit lupus untuk proyek novelku. Aku menemukan namanya pada salah satu buku berjudul “Cinta Membuatku Bangkit Saat Lupus Berbuah Hikmah”. Lalu aku langsung search di google nama lengkapnya itu dan aku berhasil menemukannya.
Ternyata dia orang yang sangat ramah dan terbuka untuk berbagi pengalaman tentang lupus denganku. Dia banyak mengajariku tentang kehidupan dan bagaimana mencintai Allah dengan penuh kepasrahan. Aku pun rajin sholat malam karena pengaruh dari dia walau secara tidak langsung.
Seperti biasa ide lucu menghampiriku, untuk menghiburnya. Minimal dia tersenyum membaca balasan komenku nanti.
“Tau nggak, kalo lupus mulai merajuk, mending ditendang aja ke laut, biar nggak ngambek molo. Kecian kan dunia fantasinya masih berwarna item putih gitu hihhhihi.” Semoga dia tersenyum, harapku.
Hanya ini yang aku bisa berikan supaya dia tidak meringis kesakitan lagi karena kehadiran lupus. Andai tabunganku cukup, aku pasti sudah menemuinya ke Majalengka. Menghiburnya langsung, bahkan kalau bisa, aku ingin merawatnya.
“Kayak tipi jadul aja.” Balasnya singkat.
“Nah makannya tuh, keciankan yang nonton nantinya. Cantik, udah sholat malam blom?” Tanyaku mengingatkannya.
Kadang aku memanggilnya “cantik” karena menurutku dia memang cantik. Apalagi hati dan ketegarannya, sungguh aku kagum padanya. Walau kutahu sebagai manusia biasa dia pun pernah merasa rapuh tapi setidaknya dia tahu bagaimana caranya untuk bangkit kembali.
“Udah tadi mumpung mama bobo, jam 00.30. Nih lagi nunggu subuh. Kamu masih ngerjain novel?” Tanyanya
Aku tidak sempat membalas lagi, karena aku sudah ngantuk dan harus segera melaksanakan sholat malam sebelum tidur
* * *
Aku terbangun jam delapan pagi. Itu pun karena bunyi pesan masuk dari ponsel yang kutaruh di balik bantal. Dari Yosi, kakak angkatku yang bekerja sebagai guru piano. Dia memintaku untuk datang ke coffee shop jam sepuluh nanti. Menemaninya menanti kekosongan jadwal mengajar hari ini, sekalian dia meminta bantuanku untuk mengedit beberapa tulisannya yang dia selesaikan tadi malam.
Permintaan terakhir itu membuatku heran. Dia guru menulisku tapi kenapa selalu meminta bantuanku untuk mengedit. Tulisanku selama ini belum sebagus tulisannya dan ideku pun belum sedasyat idenya dalam menuangkan kata-kata di lembar kertas putih.
Apa tadi? Coffee shop? Selalu saja dia mengajakku ke café mahal. Cuma satu alasanya, karena ada hot spot, numpang internet gratis. Padahal uang di dompetku hanya cukup untuk ongkos saja. Belum ada pemasukan lagi. Mungkin nanti di sana aku tidak memesan apa-apa.
“Kenapa nggak pesen apa-apa?” Tanya Yosi, pandangannya masih tidak lepas dari layar monitor laptop.
Penampilannya kali ini cukup manis dan rapi. Dia menggunakan kemeja warna hijau dengan motif daun-daun dan rok di bawah lutut berwarna coklat, tentu saja tak lupa di wajahnya ada hiasan make up yang tidak terlalu tebal. Feminim sekali. Beda denganku, hanya memakai t-shirt yang ditutupi sweater biru dan tanpa make up kecuali pelembab.
“Udah kenyang.” Jawabku seadanya, menutupi kondisi keuanganku yang sedang tidak bersahabat.
“Ohh… pesen ajah gih. Minuman gitu. Di sini kopinya enak loh, Non.”
“Donatnya juga enak kok, Mbak.” Kataku lalu tersenyum nyengir.
Dia melirikku lalu tertawa renyah. “Kamu ini udah kenyang apa lagi laper sih. Masih sempet-sempetnya ngebayangin donat. Padahal aku kan nggak mesen donat.”
“Iya tapi sandwich.”
Aku hapal, dia selalu memesan makanan dan minuman yang sama di sini. Sesekali dia memesan yang lain, itu pun kalau kupaksa. Bosan aku melihat dia pesan yang itu itu saja. Padahal menurutku sandwich di sini tidak terlalu enak, mungkin saja karena aku tidak begitu suka sandwich.
“Pesen gih, aku yang bayar kok.” Dia mengedipkan mata padaku.
Aku tersenyum senang, akhirnya dia mengerti juga kondisi keuanganku.
“Gimana novel kamu? Udah selesai kan bab limanya?” Tanya dia.
Aku hanya mengangguk karena mulut dan gigi-gigiku sibuk menghancurkan donat untuk segera kutelan.
“Bagaimana bab enam?” Tanya dia lagi. Dasar guru, selalu saja menanyakan tulisanku itu. Tak mengertikah, aku ini sedang menikmati donat tiramitsu favoritku.
Setelah kutelan satu gigitan donat, aku berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaannya. “Kerangka bab enam-ku sudah dihancurkan sama si kupu-kupu cantik itu. Tau nggak, dia penghancur kerangkaku paling gokil.”
“Maksudnya?” Dia menatapku tidak mengerti.
Aku langsung mengambil buku catatan di tas selempangku dan menunjukan beberapa komentar dari Tini yang sudah kurangkum. Dia membacanya.
“Bagus dong.” Komentarnya setelah selesai membaca.
“Apanya yang bagus? Susah, Mbak.” Keluhku.
“Apa sih yang nggak susah bagi calon penulis profesional seperti kamu. Aku yakin kamu bisa kok. Aku pun setuju sekali dengan plot yang diberikan sama Tini ini. Lebih real dan sepertinya memang beginilah yang dia alamin.”
Jika alasannya lebih real. Aku setuju tapi tiba-tiba hatiku merasa sakit. Seperti sebuah dilema dan aku takut sekali. Mungkin aku takut menuliskannya.
“Aku nggak tega nulisnya, Mbak.” Ucapku lirih.
“Kenapa?”
“Aku nggak tega dan sepertinya nggak kuat membayangkan dia meringis kesakitan gara-gara lupus. Dia pasti tersiksa lahir batin.” Kataku sok tahu.
“Nggak segitunya kali, Non. Dia masih punya Yang Di Atas, loh. Kehadiran lupus mungkin membuatnya dekat dengan Allah dan bisa jadi akan membuatnya masuk surga nanti.” Seperti biasa dia menasehatiku dengan bijak,
“Iya juga sih, tapi…”
“Bukankah kamu pengen cepet-cepet novel itu selesai karena dia, maka selesaikanlah seperti apa yang dia usulkan.”
Aku diam sejenak, berusaha meyakinkan diri kalau aku pasti bisa meneruskan novelku itu. “Yeah… aku merasa beruntung mengenalnya. Mungkin kalo aku nggak pernah kenal dia, novel itu nggak akan pernah selesai.”
“Aku pun merasa beruntung mendengar cerita tentang dia dari kamu. Pasti dia istimewa baut kamu.”
“Iya, istimewa menghancurkan kerangka novelku. Menjadi kerangka yang lebih baik tentunya.” Jawabku lalu meneruskan melahap sisa-sisa donat sampai habis.
“Ngomong-ngomong istimewa, sepertinya Luqman masih menempati posisi teratas buat kamu.”
Mendadak aku menghentikan niat untuk menyeruput kopi hangat mendengar kata-kaa dia tadi. Luqman masih menempati posisi teratas. Benarkah? Aku mencoba meraba hatiku lalu tersenyum tulus ke arahnya.
“Posisi teratas adalah keluargaku lalu kalian, sahabat-sahabatku yang selalu menyayangiku. Jadi untuk apa harus menghadirkan Luqman dalam posisi teratas sebagai orang yang istimewa.” Jawabku. Sepertinya itu jawaban yang tepat.
“Jadi Tini dan aku termasuk posisi teratas?”
Aku mengangguk.
“Kalo gitu kusarankan, novel itu kamu dedikasikan untuk dia.”
“Nggak cuma novel tapi cerpen ini juga buat dia kok.”
Dia menatapku penasaran. “Maksudnya?”
“Pembicaraan kita kali ini akan kujadikan cerpen.” Kataku sambil mengedipkan mata.
Dia tertawa. “Dasar penulis.” Ledeknya.
“Kamu juga.” Balasku. “Sini, mana yang perlu kuedit?”
“Nggak usah, kamu cukup menemaniku saja. Soal edit, nanti kukirimkan naskahnya ke emailmu saja.”
Ternyata benar, Yosi dan Tini pantas di posisi itu, posisi yang tidak akan kubiarkan Luqman menempatinya lagi.
Kulirik jam, menunjukan pukul dua malam dan aku menguap. Rasa kantuk kali ini begitu kuat menyerangku. Namun kuurungkan niat untuk segera pergi ke alam mimpi, aku belum sholat malam. Masih ada waktu tiga puluh menit sampai jam setengah tiga. Waktu yang kurasa baik untuk sholat malam.
Sambil mengisi jeda waktu, aku memilih untuk berselancar menjelajahi internet. Seperti biasa aku membuka facebook, ternyata ada empat komen dari Tini atas note-ku yang berisi draft BAB V novelku. Aku tersenyum geli membaca komennya. Dia benar-benar membimbingku, agar novelku terkesan benar-benar real.
Seperti biasa dia mengusulkan konflik-konflik selanjutnya yang akan kutulis dalam bagian novelku berikutnya. Tapi aku sedikit pesimis untuk bisa membuat konflik serumit itu, karena aku paling tidak tega membuat konflik berat atas tulisanku. Kasihan pembaca, tambah banyak pikiran kalau baca tulisan yang berat.
Tak lama, ada pemberitahuan Tini mengomentari pesan dindingku. Ternyata dia sedang online. Aku sudah hafal dengan jadwal dia online. Kondisinya tidak memungkinkan untuk dia menikmati siang terlalu lama. Aku langsung membaca komennya.
“Kamu mesti pergi ke negeri khayalan tepatnya. Jalu, Batpoh, dan Japing tinggal di desa jamur.” Dia menjawab pertanyaanku atas tiga tokoh imajinasinya itu. Sebelumnya aku memang bertanya, di mana ketiga tokoh imajinasinya itu berada karena aku mau kenalan. Ada-ada saja pertanyaanku itu.
“Naik apa ke sananya, Tin? Adakah sketsa barunya?” Balasku kemudian.
Aku bisa memastikan dia sedang menuntaskan hobinya menggambar sketsa kartun ciptaannya. Dia pernah bilang padaku kalau dia suka sekali menggambar dan aku dapat melihat hasil karyanya itu di blognya.
“Naik kereta fantasi yang langsung menuju negeri khayalan. Sketsa udah jadi tinggal pewarnaan. Cuma lagi off pewarnaannya. Lupusnya lagi ngambek, kemarin aku banyak pikiran.” Ada rasa nyeri ketika membaca kalimat terakhir.
Lupusnya kumat, aku tahu penyebabnya. Kepergian temannya yang mendadak kemarin, ternyata benar-benar membuatnya terpukul dan bersedih sampai-sampai ia harus merasakan kembali kekejaman atas kumatnya lupus.
Aku belum pernah bertemu dengannya, kami hanya saling kontak melalui dunia maya. Perkenalan kami terjadi tidak sengaja, saat aku sedang riset penyakit lupus untuk proyek novelku. Aku menemukan namanya pada salah satu buku berjudul “Cinta Membuatku Bangkit Saat Lupus Berbuah Hikmah”. Lalu aku langsung search di google nama lengkapnya itu dan aku berhasil menemukannya.
Ternyata dia orang yang sangat ramah dan terbuka untuk berbagi pengalaman tentang lupus denganku. Dia banyak mengajariku tentang kehidupan dan bagaimana mencintai Allah dengan penuh kepasrahan. Aku pun rajin sholat malam karena pengaruh dari dia walau secara tidak langsung.
Seperti biasa ide lucu menghampiriku, untuk menghiburnya. Minimal dia tersenyum membaca balasan komenku nanti.
“Tau nggak, kalo lupus mulai merajuk, mending ditendang aja ke laut, biar nggak ngambek molo. Kecian kan dunia fantasinya masih berwarna item putih gitu hihhhihi.” Semoga dia tersenyum, harapku.
Hanya ini yang aku bisa berikan supaya dia tidak meringis kesakitan lagi karena kehadiran lupus. Andai tabunganku cukup, aku pasti sudah menemuinya ke Majalengka. Menghiburnya langsung, bahkan kalau bisa, aku ingin merawatnya.
“Kayak tipi jadul aja.” Balasnya singkat.
“Nah makannya tuh, keciankan yang nonton nantinya. Cantik, udah sholat malam blom?” Tanyaku mengingatkannya.
Kadang aku memanggilnya “cantik” karena menurutku dia memang cantik. Apalagi hati dan ketegarannya, sungguh aku kagum padanya. Walau kutahu sebagai manusia biasa dia pun pernah merasa rapuh tapi setidaknya dia tahu bagaimana caranya untuk bangkit kembali.
“Udah tadi mumpung mama bobo, jam 00.30. Nih lagi nunggu subuh. Kamu masih ngerjain novel?” Tanyanya
Aku tidak sempat membalas lagi, karena aku sudah ngantuk dan harus segera melaksanakan sholat malam sebelum tidur
* * *
Aku terbangun jam delapan pagi. Itu pun karena bunyi pesan masuk dari ponsel yang kutaruh di balik bantal. Dari Yosi, kakak angkatku yang bekerja sebagai guru piano. Dia memintaku untuk datang ke coffee shop jam sepuluh nanti. Menemaninya menanti kekosongan jadwal mengajar hari ini, sekalian dia meminta bantuanku untuk mengedit beberapa tulisannya yang dia selesaikan tadi malam.
Permintaan terakhir itu membuatku heran. Dia guru menulisku tapi kenapa selalu meminta bantuanku untuk mengedit. Tulisanku selama ini belum sebagus tulisannya dan ideku pun belum sedasyat idenya dalam menuangkan kata-kata di lembar kertas putih.
Apa tadi? Coffee shop? Selalu saja dia mengajakku ke café mahal. Cuma satu alasanya, karena ada hot spot, numpang internet gratis. Padahal uang di dompetku hanya cukup untuk ongkos saja. Belum ada pemasukan lagi. Mungkin nanti di sana aku tidak memesan apa-apa.
“Kenapa nggak pesen apa-apa?” Tanya Yosi, pandangannya masih tidak lepas dari layar monitor laptop.
Penampilannya kali ini cukup manis dan rapi. Dia menggunakan kemeja warna hijau dengan motif daun-daun dan rok di bawah lutut berwarna coklat, tentu saja tak lupa di wajahnya ada hiasan make up yang tidak terlalu tebal. Feminim sekali. Beda denganku, hanya memakai t-shirt yang ditutupi sweater biru dan tanpa make up kecuali pelembab.
“Udah kenyang.” Jawabku seadanya, menutupi kondisi keuanganku yang sedang tidak bersahabat.
“Ohh… pesen ajah gih. Minuman gitu. Di sini kopinya enak loh, Non.”
“Donatnya juga enak kok, Mbak.” Kataku lalu tersenyum nyengir.
Dia melirikku lalu tertawa renyah. “Kamu ini udah kenyang apa lagi laper sih. Masih sempet-sempetnya ngebayangin donat. Padahal aku kan nggak mesen donat.”
“Iya tapi sandwich.”
Aku hapal, dia selalu memesan makanan dan minuman yang sama di sini. Sesekali dia memesan yang lain, itu pun kalau kupaksa. Bosan aku melihat dia pesan yang itu itu saja. Padahal menurutku sandwich di sini tidak terlalu enak, mungkin saja karena aku tidak begitu suka sandwich.
“Pesen gih, aku yang bayar kok.” Dia mengedipkan mata padaku.
Aku tersenyum senang, akhirnya dia mengerti juga kondisi keuanganku.
“Gimana novel kamu? Udah selesai kan bab limanya?” Tanya dia.
Aku hanya mengangguk karena mulut dan gigi-gigiku sibuk menghancurkan donat untuk segera kutelan.
“Bagaimana bab enam?” Tanya dia lagi. Dasar guru, selalu saja menanyakan tulisanku itu. Tak mengertikah, aku ini sedang menikmati donat tiramitsu favoritku.
Setelah kutelan satu gigitan donat, aku berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaannya. “Kerangka bab enam-ku sudah dihancurkan sama si kupu-kupu cantik itu. Tau nggak, dia penghancur kerangkaku paling gokil.”
“Maksudnya?” Dia menatapku tidak mengerti.
Aku langsung mengambil buku catatan di tas selempangku dan menunjukan beberapa komentar dari Tini yang sudah kurangkum. Dia membacanya.
“Bagus dong.” Komentarnya setelah selesai membaca.
“Apanya yang bagus? Susah, Mbak.” Keluhku.
“Apa sih yang nggak susah bagi calon penulis profesional seperti kamu. Aku yakin kamu bisa kok. Aku pun setuju sekali dengan plot yang diberikan sama Tini ini. Lebih real dan sepertinya memang beginilah yang dia alamin.”
Jika alasannya lebih real. Aku setuju tapi tiba-tiba hatiku merasa sakit. Seperti sebuah dilema dan aku takut sekali. Mungkin aku takut menuliskannya.
“Aku nggak tega nulisnya, Mbak.” Ucapku lirih.
“Kenapa?”
“Aku nggak tega dan sepertinya nggak kuat membayangkan dia meringis kesakitan gara-gara lupus. Dia pasti tersiksa lahir batin.” Kataku sok tahu.
“Nggak segitunya kali, Non. Dia masih punya Yang Di Atas, loh. Kehadiran lupus mungkin membuatnya dekat dengan Allah dan bisa jadi akan membuatnya masuk surga nanti.” Seperti biasa dia menasehatiku dengan bijak,
“Iya juga sih, tapi…”
“Bukankah kamu pengen cepet-cepet novel itu selesai karena dia, maka selesaikanlah seperti apa yang dia usulkan.”
Aku diam sejenak, berusaha meyakinkan diri kalau aku pasti bisa meneruskan novelku itu. “Yeah… aku merasa beruntung mengenalnya. Mungkin kalo aku nggak pernah kenal dia, novel itu nggak akan pernah selesai.”
“Aku pun merasa beruntung mendengar cerita tentang dia dari kamu. Pasti dia istimewa baut kamu.”
“Iya, istimewa menghancurkan kerangka novelku. Menjadi kerangka yang lebih baik tentunya.” Jawabku lalu meneruskan melahap sisa-sisa donat sampai habis.
“Ngomong-ngomong istimewa, sepertinya Luqman masih menempati posisi teratas buat kamu.”
Mendadak aku menghentikan niat untuk menyeruput kopi hangat mendengar kata-kaa dia tadi. Luqman masih menempati posisi teratas. Benarkah? Aku mencoba meraba hatiku lalu tersenyum tulus ke arahnya.
“Posisi teratas adalah keluargaku lalu kalian, sahabat-sahabatku yang selalu menyayangiku. Jadi untuk apa harus menghadirkan Luqman dalam posisi teratas sebagai orang yang istimewa.” Jawabku. Sepertinya itu jawaban yang tepat.
“Jadi Tini dan aku termasuk posisi teratas?”
Aku mengangguk.
“Kalo gitu kusarankan, novel itu kamu dedikasikan untuk dia.”
“Nggak cuma novel tapi cerpen ini juga buat dia kok.”
Dia menatapku penasaran. “Maksudnya?”
“Pembicaraan kita kali ini akan kujadikan cerpen.” Kataku sambil mengedipkan mata.
Dia tertawa. “Dasar penulis.” Ledeknya.
“Kamu juga.” Balasku. “Sini, mana yang perlu kuedit?”
“Nggak usah, kamu cukup menemaniku saja. Soal edit, nanti kukirimkan naskahnya ke emailmu saja.”
Ternyata benar, Yosi dan Tini pantas di posisi itu, posisi yang tidak akan kubiarkan Luqman menempatinya lagi.
Tebet - Jakarta
11:31 PM
11 Oktober 2009
Persembahan untuk Agustini Suciningtias