Minggu, 01 November 2009

Ebook Antologi Hujan

Ebook ini kumpulan puisi dan prosa karya aku dan teman-teman sesama komunitas penulis www.kemudian.com. Bertema tentang hujan

ini proyek ebook pertama aku dan teman-teman.

Silahkan di download dan selamat menikmati:
http://www.4shared.com/file/144550660/79615b4d/Antalogi_Hujan.html

Selasa, 13 Oktober 2009

Kepada Sebuah Dedikasi

Jari-jariku mendadak berhenti bergerak dan tidak menari-nari lagi di atas keyboard laptop. Hari ini mungkin aku gagal lagi menuntaskan seribu kata untuk proyek novelku. Aku lelah seharian di depan monitor, berpikir menentukan plot yang sesuai dan menyusun diksi kalimat yang kuat.

Kulirik jam, menunjukan pukul dua malam dan aku menguap. Rasa kantuk kali ini begitu kuat menyerangku. Namun kuurungkan niat untuk segera pergi ke alam mimpi, aku belum sholat malam. Masih ada waktu tiga puluh menit sampai jam setengah tiga. Waktu yang kurasa baik untuk sholat malam.

Sambil mengisi jeda waktu, aku memilih untuk berselancar menjelajahi internet. Seperti biasa aku membuka facebook, ternyata ada empat komen dari Tini atas note-ku yang berisi draft BAB V novelku. Aku tersenyum geli membaca komennya. Dia benar-benar membimbingku, agar novelku terkesan benar-benar real.

Seperti biasa dia mengusulkan konflik-konflik selanjutnya yang akan kutulis dalam bagian novelku berikutnya. Tapi aku sedikit pesimis untuk bisa membuat konflik serumit itu, karena aku paling tidak tega membuat konflik berat atas tulisanku. Kasihan pembaca, tambah banyak pikiran kalau baca tulisan yang berat.

Tak lama, ada pemberitahuan Tini mengomentari pesan dindingku. Ternyata dia sedang online. Aku sudah hafal dengan jadwal dia online. Kondisinya tidak memungkinkan untuk dia menikmati siang terlalu lama. Aku langsung membaca komennya.

“Kamu mesti pergi ke negeri khayalan tepatnya. Jalu, Batpoh, dan Japing tinggal di desa jamur.” Dia menjawab pertanyaanku atas tiga tokoh imajinasinya itu. Sebelumnya aku memang bertanya, di mana ketiga tokoh imajinasinya itu berada karena aku mau kenalan. Ada-ada saja pertanyaanku itu.

“Naik apa ke sananya, Tin? Adakah sketsa barunya?” Balasku kemudian.

Aku bisa memastikan dia sedang menuntaskan hobinya menggambar sketsa kartun ciptaannya. Dia pernah bilang padaku kalau dia suka sekali menggambar dan aku dapat melihat hasil karyanya itu di blognya.

“Naik kereta fantasi yang langsung menuju negeri khayalan. Sketsa udah jadi tinggal pewarnaan. Cuma lagi off pewarnaannya. Lupusnya lagi ngambek, kemarin aku banyak pikiran.” Ada rasa nyeri ketika membaca kalimat terakhir.

Lupusnya kumat, aku tahu penyebabnya. Kepergian temannya yang mendadak kemarin, ternyata benar-benar membuatnya terpukul dan bersedih sampai-sampai ia harus merasakan kembali kekejaman atas kumatnya lupus.

Aku belum pernah bertemu dengannya, kami hanya saling kontak melalui dunia maya. Perkenalan kami terjadi tidak sengaja, saat aku sedang riset penyakit lupus untuk proyek novelku. Aku menemukan namanya pada salah satu buku berjudul “Cinta Membuatku Bangkit Saat Lupus Berbuah Hikmah”. Lalu aku langsung search di google nama lengkapnya itu dan aku berhasil menemukannya.

Ternyata dia orang yang sangat ramah dan terbuka untuk berbagi pengalaman tentang lupus denganku. Dia banyak mengajariku tentang kehidupan dan bagaimana mencintai Allah dengan penuh kepasrahan. Aku pun rajin sholat malam karena pengaruh dari dia walau secara tidak langsung.

Seperti biasa ide lucu menghampiriku, untuk menghiburnya. Minimal dia tersenyum membaca balasan komenku nanti.

“Tau nggak, kalo lupus mulai merajuk, mending ditendang aja ke laut, biar nggak ngambek molo. Kecian kan dunia fantasinya masih berwarna item putih gitu hihhhihi.” Semoga dia tersenyum, harapku.

Hanya ini yang aku bisa berikan supaya dia tidak meringis kesakitan lagi karena kehadiran lupus. Andai tabunganku cukup, aku pasti sudah menemuinya ke Majalengka. Menghiburnya langsung, bahkan kalau bisa, aku ingin merawatnya.

“Kayak tipi jadul aja.” Balasnya singkat.

“Nah makannya tuh, keciankan yang nonton nantinya. Cantik, udah sholat malam blom?” Tanyaku mengingatkannya.

Kadang aku memanggilnya “cantik” karena menurutku dia memang cantik. Apalagi hati dan ketegarannya, sungguh aku kagum padanya. Walau kutahu sebagai manusia biasa dia pun pernah merasa rapuh tapi setidaknya dia tahu bagaimana caranya untuk bangkit kembali.

“Udah tadi mumpung mama bobo, jam 00.30. Nih lagi nunggu subuh. Kamu masih ngerjain novel?” Tanyanya

Aku tidak sempat membalas lagi, karena aku sudah ngantuk dan harus segera melaksanakan sholat malam sebelum tidur

* * *

Aku terbangun jam delapan pagi. Itu pun karena bunyi pesan masuk dari ponsel yang kutaruh di balik bantal. Dari Yosi, kakak angkatku yang bekerja sebagai guru piano. Dia memintaku untuk datang ke coffee shop jam sepuluh nanti. Menemaninya menanti kekosongan jadwal mengajar hari ini, sekalian dia meminta bantuanku untuk mengedit beberapa tulisannya yang dia selesaikan tadi malam.

Permintaan terakhir itu membuatku heran. Dia guru menulisku tapi kenapa selalu meminta bantuanku untuk mengedit. Tulisanku selama ini belum sebagus tulisannya dan ideku pun belum sedasyat idenya dalam menuangkan kata-kata di lembar kertas putih.

Apa tadi? Coffee shop? Selalu saja dia mengajakku ke café mahal. Cuma satu alasanya, karena ada hot spot, numpang internet gratis. Padahal uang di dompetku hanya cukup untuk ongkos saja. Belum ada pemasukan lagi. Mungkin nanti di sana aku tidak memesan apa-apa.

“Kenapa nggak pesen apa-apa?” Tanya Yosi, pandangannya masih tidak lepas dari layar monitor laptop.

Penampilannya kali ini cukup manis dan rapi. Dia menggunakan kemeja warna hijau dengan motif daun-daun dan rok di bawah lutut berwarna coklat, tentu saja tak lupa di wajahnya ada hiasan make up yang tidak terlalu tebal. Feminim sekali. Beda denganku, hanya memakai t-shirt yang ditutupi sweater biru dan tanpa make up kecuali pelembab.

“Udah kenyang.” Jawabku seadanya, menutupi kondisi keuanganku yang sedang tidak bersahabat.

“Ohh… pesen ajah gih. Minuman gitu. Di sini kopinya enak loh, Non.”

“Donatnya juga enak kok, Mbak.” Kataku lalu tersenyum nyengir.

Dia melirikku lalu tertawa renyah. “Kamu ini udah kenyang apa lagi laper sih. Masih sempet-sempetnya ngebayangin donat. Padahal aku kan nggak mesen donat.”

“Iya tapi sandwich.”

Aku hapal, dia selalu memesan makanan dan minuman yang sama di sini. Sesekali dia memesan yang lain, itu pun kalau kupaksa. Bosan aku melihat dia pesan yang itu itu saja. Padahal menurutku sandwich di sini tidak terlalu enak, mungkin saja karena aku tidak begitu suka sandwich.

“Pesen gih, aku yang bayar kok.” Dia mengedipkan mata padaku.

Aku tersenyum senang, akhirnya dia mengerti juga kondisi keuanganku.

“Gimana novel kamu? Udah selesai kan bab limanya?” Tanya dia.

Aku hanya mengangguk karena mulut dan gigi-gigiku sibuk menghancurkan donat untuk segera kutelan.

“Bagaimana bab enam?” Tanya dia lagi. Dasar guru, selalu saja menanyakan tulisanku itu. Tak mengertikah, aku ini sedang menikmati donat tiramitsu favoritku.

Setelah kutelan satu gigitan donat, aku berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaannya. “Kerangka bab enam-ku sudah dihancurkan sama si kupu-kupu cantik itu. Tau nggak, dia penghancur kerangkaku paling gokil.”

“Maksudnya?” Dia menatapku tidak mengerti.

Aku langsung mengambil buku catatan di tas selempangku dan menunjukan beberapa komentar dari Tini yang sudah kurangkum. Dia membacanya.

“Bagus dong.” Komentarnya setelah selesai membaca.

“Apanya yang bagus? Susah, Mbak.” Keluhku.

“Apa sih yang nggak susah bagi calon penulis profesional seperti kamu. Aku yakin kamu bisa kok. Aku pun setuju sekali dengan plot yang diberikan sama Tini ini. Lebih real dan sepertinya memang beginilah yang dia alamin.”

Jika alasannya lebih real. Aku setuju tapi tiba-tiba hatiku merasa sakit. Seperti sebuah dilema dan aku takut sekali. Mungkin aku takut menuliskannya.

“Aku nggak tega nulisnya, Mbak.” Ucapku lirih.

“Kenapa?”

“Aku nggak tega dan sepertinya nggak kuat membayangkan dia meringis kesakitan gara-gara lupus. Dia pasti tersiksa lahir batin.” Kataku sok tahu.

“Nggak segitunya kali, Non. Dia masih punya Yang Di Atas, loh. Kehadiran lupus mungkin membuatnya dekat dengan Allah dan bisa jadi akan membuatnya masuk surga nanti.” Seperti biasa dia menasehatiku dengan bijak,

“Iya juga sih, tapi…”

“Bukankah kamu pengen cepet-cepet novel itu selesai karena dia, maka selesaikanlah seperti apa yang dia usulkan.”

Aku diam sejenak, berusaha meyakinkan diri kalau aku pasti bisa meneruskan novelku itu. “Yeah… aku merasa beruntung mengenalnya. Mungkin kalo aku nggak pernah kenal dia, novel itu nggak akan pernah selesai.”

“Aku pun merasa beruntung mendengar cerita tentang dia dari kamu. Pasti dia istimewa baut kamu.”

“Iya, istimewa menghancurkan kerangka novelku. Menjadi kerangka yang lebih baik tentunya.” Jawabku lalu meneruskan melahap sisa-sisa donat sampai habis.

“Ngomong-ngomong istimewa, sepertinya Luqman masih menempati posisi teratas buat kamu.”

Mendadak aku menghentikan niat untuk menyeruput kopi hangat mendengar kata-kaa dia tadi. Luqman masih menempati posisi teratas. Benarkah? Aku mencoba meraba hatiku lalu tersenyum tulus ke arahnya.

“Posisi teratas adalah keluargaku lalu kalian, sahabat-sahabatku yang selalu menyayangiku. Jadi untuk apa harus menghadirkan Luqman dalam posisi teratas sebagai orang yang istimewa.” Jawabku. Sepertinya itu jawaban yang tepat.

“Jadi Tini dan aku termasuk posisi teratas?”

Aku mengangguk.

“Kalo gitu kusarankan, novel itu kamu dedikasikan untuk dia.”

“Nggak cuma novel tapi cerpen ini juga buat dia kok.”

Dia menatapku penasaran. “Maksudnya?”

“Pembicaraan kita kali ini akan kujadikan cerpen.” Kataku sambil mengedipkan mata.

Dia tertawa. “Dasar penulis.” Ledeknya.

“Kamu juga.” Balasku. “Sini, mana yang perlu kuedit?”

“Nggak usah, kamu cukup menemaniku saja. Soal edit, nanti kukirimkan naskahnya ke emailmu saja.”

Ternyata benar, Yosi dan Tini pantas di posisi itu, posisi yang tidak akan kubiarkan Luqman menempatinya lagi.

Tebet - Jakarta
11:31 PM
11 Oktober 2009

Persembahan untuk Agustini Suciningtias

Menunggu

Masih tentang dia
Masih tentang gerimis masa lampau
Terbangun aku dari tidur semalam
Terpisah dari mimpi tak berujung
Masih menunggumu dan tetap menunggu
Di luar batas kemampuan, kepada alam sadar tak terjangkau

Manunggu hasrat pudar
Menunggu hingga kau bahagia
Saat aku beranjak pergi tanpa pamit
Kini aku hanyalah seorang pemuja rahasia
Tidak tahu kemana arahmu terbang

For: IDOY ‘066’ (Deddy Suryadi)
Cirebon, 17 Oktober 2003

NB: puisi jaman jabot alias jaman SMA nih, jaman-jamannya masih cinta monyet gitu deh. Sekarang lagi kangen sama orang yang jadi inspirasi puisi saya ini. Ada yang tahu kemana yaakk dia tapi bodok amat ah

Sabtu, 12 September 2009

Ketika Mencintaimu

aku ingin mencintaimu
seperti matahari yang tak pernah ingkar
bersinar di pagi hari

mencintaimu
seperti sepasang merpati yang selalu terbang beriringan
tanpa pernah lepas

mencintaimu dengan rajutan harapan
hingga ia menjadi permandani yang indah

mencintaimu
persis ombak yang selalu memecah buih di pantai
lalu kembali lagi ke laut dan begitu seterusnya

mencintaimu dengan mulut yang tak henti berdoa
kemudian tersenyum menatap cermin bayangan doa itu

dan apakah kau mencintaiku?

saya tak tahu pada akhirnya pertanyaan itu untuk siapa?

Bersenandung

berbait lagu tertulis bersenandung
entah apa maksud dan maknanya
bernyanyi, terus bernyanyi di kotak hati
bergayut ranting jiwa, terpanggang kisah nyata
mengabu debu berlembar usang kerontang
namun suara itu, setia menggema di dada
tak terhingga harga nada-nadanya

bait itu masih terlantun
terdengar sampai relung kaca peradabanku
mencoba meneteskan setitik demi setitik butiran air
batu tetap saja batu, tidakah dia mengerti?

pada bait itu, aku kembali pulang ke rumah
pada bait itu, ku titipkan seluas samudra bernamakan kerinduan
pada bait itu, kukecup kemesraan berpeluk angan
pada bait itu, butiran air tertumpah tak terelakan

merdu sekali ketika bernyanyi asal tak mendayu
desahan memanja ada di dalamnya
lirih menyebut janji hampir terabaikan
ah pada bait itu, dia selalu saja memanjakanku

Cirebon, November 2008

pada setahun yang lalu, untuk seseorang yang di ujung pulau

Minggu, 06 September 2009

Berbeda

Aku dan dia kini duduk berhadapan di cafe tempat kami pernah sepakat untuk suatu komitmen cinta sebulan yang lalu. Saling diam, aku sibuk meredam emosiku dan entah dia sibuk apa dalam diamnya. Ini awal kami bertemu kembali setelah seminggu lamanya tak bertemu dan tak ada komunikasi sama sekali diantara kami. Sungguh, aku sendiri tak mengerti hubungan macam apa yang sedang aku jalani bersamanya kini.

Keheningan masih saja menyelimuti, apalagi pengunjung café terlihat sedikit. Hanya alunan musik lembut terdengar dari speaker. Sebenarnya suasana café lumayan romantis tapi sayang sekali aku tidak merasakan keromantisan itu. Aneh, padahal aku sedang bersamanya, kekasihku.

“Kita beda, Rin.” Danang akhirnya memecah kesunyian diantara kami.

Aku tercengang menatapnya. Tak mengerti apa maksudnya dengan perbedaan diantara kami, karena kurasa perbedaan itu tidak menjadi suatu masalah.

“Maksud kamu?”

“Kultur kita beda, Rin.”

Aku masih menatapnya tidak mengerti. Menuntut untuk diberikan penjelasan lebih detail mengenai perbedaan yang dia maksud, terutama perbedaan kultur.

“Kadang aku juga berpikir akan susah menyatukan kultur. Kamu sudah terbiasa berada dalam suatu keluarga yang ada, akan sulit untuk berbeda.” Jelasnya.

Aku mendesah pelan. Resah. Tiba-tiba seperti ada yang meninju hulu hatiku berkali-kali tanpa bisa aku kendalikan rasa sakitku. Perbedaan kultur. Aku akui kami memang berbeda. Beda latar belakang, budaya, bahkan mungkin beda status sosial tapi kurasa itu masih wajar. Perbedaan itu masih bisa disatukan menurutku dan bukan masalah. Bukankah karena perbedaan itu justrru bisa saling mengisi satu sama lain, menutupi kekurangan masing-masing.

Aku berasal dari budaya betawi dengan pembawaanku yang apa adanya dan jarang sekali basa-basi tidak penting jika tidak diperlukan. Sementara Danang berasal dari budaya Jawa yang lembut dan penuh dengan basa-basi demi kesopanan. Jujur, aku menyukai budaya Jawa terutama Jawa Tengah. Aku suka dengan lembutnya, sopan santunnya, dan aku suka dengan tutur katanya yang enak di dengar. Aku akui kesulitanku cuma satu, aku sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Tapi perbedaan itu bukan sesuatu yang besar bahkan masih bisa ditoleran.

“Akan sulit? Setidaknya aku mau belajar memasuki semua aspek kehidupan kamu.” Tegasku berusaha meyakinkannya.

“Terlalu kompleks untuk kamu mengerti, Rin.”

Aku menatapnya dengan perasaan kecewa. Kenapa dia tidak yakin akan kehadiranku bisa mengimbangi perbedaan di anatara kami. Lantas untuk apa saat ini kami bersama? Apa artinya sebuah hubungan? Tak sadarkah, bahkan aku dan dia beda jenis kelamin. Dari hal sekecil itu saja sudah tampak sekali perbedaannya.

“Baiklah. Apa mau kamu?” Tanyaku akhirnya masih dengan menahan rasa sakit yang masih saja membuat debar jantungku berdegup lebih dari kecepatan normal.

“Entahlah. Perlu berpikir dan membutuhkan waktu.”

Aku tersenyum dan masih ingin berusaha meyakinkannya.

“Kamu tau, gak gampang buat aku ketika harus pindah dari Jakarta ke Cirebon. Aku punya segalanya di Jakarta. Aku punya teman, sahabat, nenek-kakek, sepupu, dan aku punya rumah yang sangat nyaman. Di Cirebon? Aku gak punya siapa-siapa selain satu keluarga utuh. Dan sekarang saat di Cirebon aku sudah punya segalanya, aku harus kembali lagi ke Jakarta. Itu suatu pukulan buat aku karena aku tau semuanya akan berawal dari nol lagi.”

“Itu beda banget!” Potongnya.

“Apanya yang beda? Toh sesulit apapun aku pasti harus menghadapinya.”

“Aku juga dulu berpikir seperti itu. Aku sangat percaya diri tapi apa yang aku dapat? Sulit memang aku terima waktu itu tapi pada akhirnya realitaslah yang bicara.”

“Jadi apa yang harus aku lakuin supaya kamu yakin?” Tanyaku lirih.

“Aku gak tau.”

“Kamu sayang aku?” Aku menatapnya tajam dan penuh harap.

Entahlah aku sendiri juga tidak tahu apakah rasa cinta itu memang benar-benar ada untuknya atau tidak. Namun kurasakan harapan untuk bersamanya terlalu besar. Padahal aku benci pada harapan itu.

Kuakui tak pernah terungkapkan kata cinta diantara kami. Sebulan yang lalu Danang datang menawariku untuk menjalankan suatu hubungan dengan komitmen. Aku terima, karena kupikir sudah saatnya aku menjalin suatu hubungan serius. Hubungan yang aneh, menurutku.

“Aku juga gak tau apa yang sebenarnya terjadi. Waktu kamu mau berproses dengan aku dan sepakat untuk pacaran, aku seperti mendapatkan air di padang pasir tapi aku gak tau apakah rasa sayang itu memang benar-benar ada atau tidak.”

Penjelasan tadi membuat hatiku tersayat. Aku ingin menangis. Walau lukaku ini tak menimbulkan darah tapi terasa perih sekali. Tidakkah ia merasakannya. Perbedaan? Aku sangat benci itu dijadikan suatu alasan dan masalah. Dari lahir aku hidup dengan perbedaan dan aku tahu porsi perbedaan mana yang harus aku kendalikan, yang harus aku satukan, dan yang harus aku hindarkan. Aku sudah cukup tahu! Namun kurasa perbedaan aku dan Danang sangat cetek sekali untuk dijadikan masalah.

“Maaf aku masih butuh waktu.” Katanya lalu beranjak pergi meninggalkan aku yang masih saja harus menahan perih.

Aku masih ingin bersamanya untuk mengetahui seberapa jauh aku bisa bertahan menghadapi hubungan seperti ini. Tetapi aku juga tidak akan menghalangi jika suatu saat dia ingin pergi. Satu per satu air mataku mengalir. Aku menangis untuk mengumpulkan kekuatan bahwa aku mampu bertahan.

Cirebon, Juni 2009

Sabtu, 05 September 2009

Penjagaan Atas Sebuah Luka


Senja pun datang kembali perlahan selimuti

Sekilas cahaya mentari yang pergi

Kau lepaskan gelisahmu pejam dua matamu

Sandarkan di atas bahuku, menangis


Sayup-sayup terdengar lagu lamanya The Rain dengan judul Jangan Pergi dari winamp komputer kesayangan saya ketika saya sedang menulis artikel laporan kepergian saya ke Yogjakarta-Semarang. Kosentrasi saya buyar dan mendadak tidak fokus pada apa yang sedang saya buat bahkan saya sudah tak mampu melanjutkannya lagi. Semua seolah terhenti. Lagu itu, entah kenapa saya harus memilih lagu itu ke dalam list winamp dan saya pun tak mengerti mengapa lagu itu masih saja saya simpan dengan rapih dalam file musik di komputer saya.


Kenangan beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat saya masih duduk di kelas tiga SMA itu kembali membayang dalam benak saya laksana suara hati yang memberikan sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk saya jawab meski untuk diri saya sendiri. Ya, seolah menanyakan apakah itu suatu tanda bahwa saya masih mencintainya setengah mati atau hanya sebuah kenangan yang terlintas lewat sesaat untuk kemudian saya pun tersenyum kembali jika mengingatnya. Tapi saya tidak senang. Saya tidak menyukai kenangan itu. Lebih tepatnya saya tidak ingin hidup kembali dengan bayang-bayang masa lalu tak penting.


Mungkin karena kenangan itu saya jadi tidak menyukai senja padahal itu indah. Saya selalu mengakui senja itu indah tapi saya tidak suka, lagi-lagi karena kenangan itu. Kenangan yang membuat saya tergoda untuk kembali pada masa lalu dan mengulanginya dengan lebih indah agar suatu saat tidak menjadi hal yang menyakitkan untuk dikenang. Kenangan yang membuat saya selalu ingin pulang dan tinggal di kotamu, kenangan yang membuat saya sampai saat ini tidak bisa mencintai seseorang lagi seperti saya mencintai kamu atas dasar ketidakpercayaan.


Ya, sejak kamu pergi, saya selalu takut untuk mencintai orang lain sepenuh hati saya. Sebelum orang itu benar-benar membuktikan bahwa dia cinta sama saya tapi kenyataannya mereka – orang yang mengaku mencintai saya – belum ada satu pun yang terbukti bahwa mereka benar-benar mencintai saya. Perlahan dan satu per satu mereka pergi meninggalkan saya seperti kamu meninggalkan saya dulu.


Dan bila kau telah pergi jauh dariku

Terasa semakin dalam sayangku untukmu

Tapi yang terindah jangan pergi jauh

Kusendiri di sini


Saya ingat pada malam itu, saya sedang menginap di rumah Ita (sahabat saya) karena saya pulang kemalaman setelah belajar kelompok untuk bersiap menghadapi UAN, UNAS, atau entahlah akan berganti apalagi nama semacam itu. Saya panik karena pesan singkat yang saya kirim ke kamu lebih dari sepuluh pesan. Sama sekali tak kamu balas. Saya menghubungi ponsel kamu, tidak ada jawaban apa-apa selain berakhir dengan layanan mail box. Sampai akhirnya saya ke wartel untuk telepon kost kamu tapi lagi-lagi tak ada yang menjawab. Sumpah saya panik dan tidak bisa tidur malam itu juga karena memikirkan keadaan kamu, memikirkan kamu dengan siapa di sana, hingga memikirkan kemungkinan terburuk yaitu kamu telah meninggalkan saya begitu saja tanpa alasan. Saya menangis. Ita memeluk saya. Membujuk saya untuk berhenti menangis. Saat itu saya cengeng sekali tapi saya rasa wajar karena boleh dibilang kamu adalah cowok pertama saya meski bukan cinta pertama saya. Saya takut sekali untuk kehilangan kamu. Saya sangat mencintai kamu kala itu.


Hanya pelukan Ita dan lagu ini, lagu yang sedang saya putar saat ini berkali-kali di komputer saya. Menemani saya, membujuk saya sampai dering ponsel saya akhirnya berbunyi, saat itu jam di dinding menunjukan pukul dua belas keatas (saya lupa jam berapa persisnya). Itu dari kamu, ingin rasanya saya marah sama kamu, saya ngambek sama kamu tapi saya hanya bisa menangis. Entah sedih, entah bahagia karena kamu bilang kamu lupa membawa ponsel kamu ke Klaten, rumah Eyangmu. Kamu minta maaf dan besoknya saya menemukan kamu di Stasiun Cirebon. Ya, kamu mengunjungi saya sebagai permintaan maaf karena kamu sudah buat saya cemas setengah mati.


Saya dan kamu menghabiskan waktu bersama untuk beberapa hari ke depan. Kamu menemani saya kemana pun saya pergi. Ke sekolah, toko buku, bingbel, les Bahasa Inggris, mall, nonton film favorit saya, sampai ke restoran favorit saya. Kamu mengikuti semua aktivitas saya sehingga saya selalu merasa nyaman dan saya merasa bahwa sayalah cewek paling bahagia di dunia ini saat itu. Kita keliling kota Cirebon dan Kuningan. Kamu suka jalan-jalan, saya pun begitu. Kita sangat menikmati kebersamaan kita kala itu.


Waktu itu kita sempat berpetualangan ke curug yang berada di kaki Gunung Ciremai. Jalan menuju curug itu lumayan curam dan terjal. Saya dan kamu harus berjalan kaki sepanjang tiga kilometer untuk sampai ke tempat tujuan. Saya hampir nyerah di tengah perjalanan, kaki saya sudah tidak kuat lagi. Tapi kamu terus menyemangati saya. Kata kamu, ini belum seberapa dibanding perjuangan hidup yang akan kita lalui ke depan. Baru saat senja saya dan kamu pun sampai. Begitu dingin, kabut mulai menutup pandangan. Cahaya senja yang menyelimuti, begitu indah. Udara sangat dingin sekali tapi saya tidak peduli, saya malah main air sampai puas. Aneh, saat itu saya sama sekali tidak kedinginan. Mungkin karena ada kamu semua jadi begitu hangat.


Sampai tiba waktunya kamu harus kembali ke Yogjakarta untuk melanjutkan kuliah kamu yang sempat terhenti karena liburan semester. Tapi saya tak menyangka bahwa kebersamaan kita adalah yang pertama dan terakhir. Beberapa bulan kemudian, tepatnya setelah pengumuman kelulusan saya, kamu pamit pergi dan bilang hubungan kita ini tak akan bisa diteruskan lagi karena suatu saat kamu harus kembali pulang ke Manokwari – Papua. Saya harus siap, lebih tepatnya saya harus siap untuk tidak bertemu denganmu lagi.


Terlelap dipelukanku dengan senyum bibirmnu

Titik air mata di sudut keningmu

Semoga kau dengar pintaku walau dalam mimpimu

Terimakasih untuk semua ketulusanmu


Saya tidak pernah melihatmu lagi sampai sekarang padahal saya sangat berharap saat saya pergi ke Yogja untuk urusan kerja kemarin. Kamu masih ada di Yogja dan bisa bertemu kamu kembali. Tak apa tentang kita hanya tinggal masa lalu tapi setidaknya saya bisa melihatmu lagi dan berbicara walau hanya sekedar tanya kabar dan basa-basi belaka. Sayang sekali kamu sudah tidak ada di Yogja lagi padahal tempat tinggal sementara saya di Yogja dekat sekali dengan kost kamu bahkan dekat dengan kampus kamu dulu.


Tidak putus asa. Saya pun mencari kamu melalui internet. Saya tahu internet akan mempersempit ruang diantara kita. Setidaknya saya masih bisa berkomunikasi dengan kamu dalam jarak jauh dan sekali lagi, setidaknya saya tahu kabar kamu sekarang. Saya hanya bisa menatap miris layar yang ada dihadapan saya ketika namamu sama sekali tidak ada dalam daftar pencarian di Google. Saya pun teringat, bahwa kamu tidak suka internet. Kamu tidak suka dengan teknologi walau itu penting. Bagaimana lagi saya harus mencarimu? Saya tak mungkin menuju Manokwari hanya untuk menemui kamu. Saya tidak tahu alamat kamu dan saya tidak mau kamu terus-terusan menjadi bagian yang penting dalam hidup saya. Kamu hanya sebatas masa lalu.


Saya masih berharap suatu saat dalam keadaan yang berbeda. Saya dapat bertemu dengan kamu kembali walau harapan itu nihil. Saya yakin selama kamu masih ada di dunia, suatu saat… ya suatu saat… saat itu akan hadir untuk mempertemukan kamu dalam keadaan yang berbeda.


Lagu itu masih saja terdengar. Tanpa saya sadari tetesan air mata saya meleleh tapi buru-buru saya menghapusnya dan buru-buru saya mematikan lagu itu. Sekali lagi, saya tidak ingin hidup dengan masa lalu, saya ingin menatap lurus ke depan meski saya ingin sekali masa lalu itu bisa terulang kembali.


Adakah seseorang yang bisa saya cintai seperti saya mencintai kamu? Ketidakpercayaan itu telah membuat saya selalu hati-hati untuk kembali jatuh cinta dengan siapapun karena saya tidak ingin luka itu terlalu dalam bahkan dengan orang yang berbeda pun.


Tiba-tiba terdengar bunyi tanda masuknya pesan singkat pada ponsel yang telah saya letakan di atas meja komputer. Saya langsung membacanya.


From: +628574xxxxxx

Subject:: <….>

Sent: 18/05/09 8:12:41 PM

Met malem… Amel, neh aku Heru. Kamu msh pya no Ian Nugraha gak? Aku minta donk.


Saya tersentak membaca pesan itu. Bukan karena saya sama sekali tidak mengenali Ian Nugraha, bukan karena seseorang yang mengirim pesan singkat itu salah sambung. Nama panggilan saya bukan Amel tapi Nisa. Saya tersentak karena nama itu adalah nama Heru. Seseorang yang tadi ada dalam kenangan saya tapi saya tidak mau terlalu yakin dulu bahwa itu adalah Heru dalam kenangan saya. Masih banyak orang yang bernama Heru


Reply:

Heru mana ini?


From: +628574 xxxxxx

Subject:: <….>

Sent: 18/05/09 8:14:46 PM

Heru Yogja, temen satu kos Ian.


Deg, di Yogjakarta hanya ada satu nama Heru yang saya kenal. Cuma kamu, kamu Heru dalam kenangan saya. Mungkinkah. Jantung mendadak berdetak lebih cepat.


Reply:

Heru Persada?


From: +628574xxxxxx

Subject:: <….>

Sent: 18/05/09 8:17:23 PM

Yup betul. Gimana kabar Amel, sehat-sehat aja kan? Terus punya no hpnya Ian gak? Punya ku ilang neh.


Ternyata pengirim pesan singkat itu adalah kamu. Saya senang akhirnya saya menemukanmu walau hanya sebuah pesan singkat yang salah sambung. Tapi bagaimana bisa menjadi skenario seperti ini? Kebetulan sekali seolah Tuhan menjawab doa saya dengan cepat. Cukup saya akhirnya menemukanmu secara kebetulan walau saya tahu saya tidak akan pernah menemukan hatinya lagi.


Cirebon, Mei 2009

Mojakokiyokun

Kamar dengan wallpapper bermotif bunga dan latar berwarna biru muda terlihat berantakan. CD MP3 dan beberapa kaset tape berserahkan di lantai. Hampir semua laci, lemari, dan semua tempat penyimpanan yang ada di kamar sudah Vella bongkar, namun tidak ia temukan apa yang sedang dicarinya. Ia garuk-garuk kepala. Bingung harus mencari kemana lagi. Wajahnya terlihat kusut.


“Ya ampun! Kok kamar kayak kapal pecah sih, Teh?” Kiyo sudah berada di depan kamar. Dari tadi Vella memang membiarkan pintu kamar terbuka tapi ia tidak menyangka Kiyo akan datang ke rumah tanpa kabar berita terlebih dulu via HP. Vella hanya mesem-mesem, menahan malu ruang privasinya yang super berantakan terlihat oleh Kiyo.


“Sepertinya sedang mencari sesuatu.” Kiyo melangkah masuk kamar dan duduk di sisi ranjang yang sudah terpisah dari balutan sprei.


“Iya nih, aku lagi nyari kaset aku waktu kecil itu.”


Kiyo mengerutkan kening, “Kaset apaan, Teh?”


“Itu lho soundtrack film kartun Mojako.”


“Film Mojako? Oh iya iya… dulu waktu kita kecil kalau enggak salah di putar di TPI kan? Tapi Teteh aneh banget, sudah mau jadi sarjana masih suka lagu anak kecil. Mendingan dengarin lagu Goyang Duyu deh. Ayo goyang duyu…bebaskanlah hatimu… Asyik…asyik.. angkat jempolnya, asyik!” Kiyo meniru tarian kayak di video klipnya Project Pop. Narsis! Lucu juga kalau Kiyo goyang, kesannya maksa banget. Tak ada lenturnya sama sekali.


“Aa jelek plis deh, aa tuh pantesnya goyang gergaji kali. Lebih hot kayak si Depe ntu tuh.”


“Kalau yang itu mah goyangannya Teteh kali hahaha.”


Vella langsung memasang muka cemberut seseram mungkin pada Kiyo. Ironisnya Kiyo malah makin tambah keras ketawanya.


“Terus…iya terus ketawa sekalian saja digedein volume ketawanya biar tetangga kiri kanan pada denger.” Hardik Vella.


“Iya iya Teteh sayang, ampun!” Sepertinya Kiyo sudah hafal apa yang terjadi kalau ia semakin mengeraskan ketawanya pasti Vella akan mengusir dirinya dan membatalkan proyek novel kolaborasi mereka. Itu mungkin akan menjadi bencana untuk Kiyo.


“Untuk apa sih tuh lagu? Emang enak ya lagunya?”


Vella lalu menceritakan kalau kemarin ia mendengarkan lagu itu pada saat menemani Joule, kakaknya, latihan band. Itupun karena Felin, teman satu band Joule, menyanyikannya tapi lagu itu diiringi dengan instrument jazz.


“Pokoknya cocok banget deh sama karakter suaranya Teh Felin.”


“Seperti apa tuh lagu? Bisakah Teteh menyanyikannya?”


Vella mengangguk mantap lalu bernyanyi pada bagian reff,


Kata-kata yang indah..

Tidaklah perlu….

Untuk menyenangkan hati…

Hingga waktupun terlupakan…


“Bisa di ulang dari awal, sebelum reff?” Pinta Kiyo.


Vella pun menyanyikannya dari awal hingga lagu habis. Ia sangat menikmati setiap lirik-liriknya. Bernyanyi di depan Kiyo sudah biasa buat dia. Tak ada rasa malu lagi walau Kiyo selalu bilang kalau suaranya kayak anak kecil. Baginya, yang penting ia nyanyi untuk dirinya sendiri bukan untuk konsumsi publik, halah.


“Sekarang Teteh bereskan dulu kamarnya. Nanti Aa cariin lagunya di internet. Lagian Teteh sebentar lagi sidangkan? Bukannya belajar malah cari lagu Mojako. Enggak mungkin dong nanti penguji menanyakan lagunya Mojako.”


Vella nyengir. Terkadang ia heran pada dirinya dan tentu saja pada Kiyo karena Kiyo usianya lebih muda dua tahun darinya tapi sepertinya yang lebih pantas menyandang status “kakak” itu adalah Kiyo daripada dirinya.


“Mau kemana?” Tanya Vella ketika Kiyo beranjak dan bersiap akan pergi.


“Ke Kampus, Teh. Ada jadwal.”


“Halah hari gene masih ada jadwal di kampus. Capek deh!” Ledek Vella sembari menepukkan kening.


“Awas ya..nanti enggak Aa cariin lagunya Mojako nih.” Ancam Kiyo sambil pura-pura cemberut.

“Hahahahaha….”


* * *


Hujan terus mengguyur mana kala senja mulai menampakan diri dengan malu-malu. Pada salah satu kursi di kantin kampus terlihat Vella sedang menikmati cappucinno hangat. Ia menunggu hujan reda hingga nanti bisa pulang tanpa harus basah kuyup ketika sampai di rumah. Kalau saja Kiyo masih ada di Cirebon, ia pasti bisa menemani Vella di sini. Membahas tentang proyek novel kolaborasi mereka. Sayang, selama dua minggu Kiyo harus ada di Bandung untuk kerja lapangan.


Seorang Kiyo bisa berperan sebagai adik, kakak, dan sahabat bagi Vella. Entah bagaimana awalnya. Tidak penting. Saat ini ia sungguh menyayangi Kiyo seperti saudara kandungnya sendiri. Walau di lingkungan kampus telah menimbulkan gosip akibat kedekatan mereka dan banyak teman-teman dari pihak masing-masing menyarankan mereka untuk jadian, tapi Vella tidak peduli. Ia malah sempat tersenyum geli membayangkan kalau nanti benaran ia akan jadian sama Kiyo. Ia bakalan jalan sama brondong. Padahal buat Vella brondong enggak banget alias bukan tipe idealnya.


Getaran pada kantung celana, bertanda SMS masuk dari HP CDMA. Membuat lamunan Vella buyar dan reflek tangannya mengambil HP dari kantung. Ia dapat SMS dari Kiyo.


Teh, maaf lagu Mojakonya belum ketemu. Lusa jam satu siang mampir ke blog Aa ya. Kebetulan jam segitu Aa juga akan OL di YM. Jangan lupa jam satu siang, sukses ya Teh buat sidangnya.


Sampai sekarang Vella juga belum mendapatkan lagu Mojako. Padahal hampir tiap hari Vella berselancar di dunia maya tapi tak jua ia temukan apa yang dicari bahkan Om Google pun tak dapat membantunya. SMS itu tidak dibalas oleh Vella dengan alasan tidak ada pulsa. Ia sedang krisis keuangan karena tanggalan tua. Duit bulanan dari orang tua menipis. Iseng ia membuka PDA dan melirik agenda dalam beberapa hari ke depan hingga akhir Desember. Pandangannya tertuju pada jadwal lusa. Sidang jam satu siang! Mendadak panik. Ia lupa memberi tahu Kiyo atas jadwal sidangnya. Kiyo hanya tahu dalam minggu-minggu ini ia akan sidang. Terlebih lagi itu bertepatan oleh jadwal chatting dengan Kiyo. Sidang kira-kira akan berlangsung selama satu jam, itu pun kalau molor bisa satu setengah jam lebih. Gimana ini. Ingin sekali ia segera SMS untuk memundurkan jadwal chatting dan lagi-lagi terbentur penghabisan pulsa. Huff.. Seandainya saat ini bukan tanggal tua.


* * *


Sudah pukul satu lebih sepuluh menit namun tak jua Vella dipanggil ke ruang sidang. Ia gelisah, pikirannya bercabang. Antara sidang dan Kiyo. Sesekali ia melirik jam tangan dan bergantian pandangannya pada pintu ruang sidang. Hampir semua mahasiswa menganggap ruangan itu adalah hal yang menakutkan. Ruangan penentu masa depan, jawaban atas perjalanan selama empat tahun bahkan lebih. Hanya ada dua pilihan ketika kita keluar dari ruang sidang itu. Lulus atau tidak. Apapun jawaban dari kedua pilihan tersebut, Vella sudah bertekad untuk berusaha semaksimal mungkin agar bisa lulus.


Ia kembali resah memikirkan Kiyo. Lelaki itu pasti sedang menantinya di jagat maya. Walau ia tahu kalau Kiyo tidak akan marah dengan ketidakhadirannya namun ada rasa tak enak. Tidak Vella pungkiri ada kerinduan menyelip dalam hatinya pada Kiyo.Ia ingin berbagi cerita pada Kiyo seusai sidang nanti. Ketika melihat Asep, sahabat satu angkatan yang juga akan sidang, tiba-tiba ia dapat ide.


“Sep, kamu ada pulsakan? Minta dong buat satu SMS.” Vella meminta pada Asep yang duduk bersebelahan dengannya di depan ruang sidang.


“Kamu telat mintanya, barusan pulsa aku pakai buat telepon sampai habis.”


“Gitu ya…” Vella menampakan ekspresi kecewa. Mungkin sudah skenario , ia belum bisa berkomunikasi dengan Kiyo sampai sekarang. Tanya kenapa!


“Buat SMS siapa sih?” Tanya Asep.


“Kiyo.”


“Ooo.. jadi ada yang mau minta dukungan suami nih buat sidang. Ciye…. Pantas tuh muka dari tadi kelihatan kayak benang kusut. Ternyata oh…ternyata.”


Terang saja Vella ngamuk mendengarnya. Ia sebal, sejak kapan lagi si Kiyo itu berubah status menjadi suami. Jadian saja enggak pernah.


“Hah.. Suami dari Hongkong!”


“Hongkong saja enggak pernah nikah sama Kavellania yak hahahahaha…” Sambung Asep.


Baru saja Vella akan memukul punggung Asep pakai lembaran skripsnya. Tiba-tiba tersengar panggilan yang menyuruhnya untuk segera masuk ke ruang sidang.


“Semangat, Vel. Sebut nama Kiyo tiga kali kalau mentok wakakakaka.”


Sambil berjalan ke ruang sidang, Vella mendelik sebal ke Asep.


Sekeras mungkin Vella berusaha untuk fokus pada materi skripsi agar bisa mempresentasikannya dengan baik. Apalagi sebelumnya ia harus mengerjakan beberapa soal pemrograman dari penguji. Beruntung ia bisa, peran Kiyo memang cukup besar di sini. Saat mengerjakan soal tadi, Vella teringat pada Kiyo yang selalu memaksanya untuk belajar pemrograman. Kiyo bilang, suka atau tidak suka dengan logika bahasa pemrograman, ia harus memaksakan diri untuk bisa jika ingin lulus sidang. Kiyo selalu marah kalau dirinya mulai malas untuk belajar. Ternyata semua yang Kiyo lakukan kemarin benar-benar membantunya di sidang. Terima kasih


Semua argumentasi tiga penguji Vella jawab tanpa ragu-ragu. Salah atau benar jawaban itu, ia harus tetap terlihat yakin dihadapan penguji. Ia hanya berharap Kiyo benar-benar memahaminya mengapa kali ini ia tidak bisa memenuhi jadwal chatting yang telah ditentukan Kiyo.


“Tadi kamu bisa mengerjakan soal pemrograman tapi kenapa kamu memilih untuk membuat animasi?” Tanya salah satu dosen penguji.


Vella tersenyum. “Saya lebih tertarik dengan animasi daripada bahasa pemrograman, Pak. Menurut saya animasi lebih memaksimalkan imajinasi saya dan saya lebih suka memainkan imajinasi saya daripada bermain dengan logika.”


Dan..


“Oke sebuah argumentasi yang bisa diterima dan… selamat kamu lulus!”


Jawaban dan ucapan selamat dari salah satu dosen penguji tadi benar-benar membuat Vella merasa tersiram air es. Dingin tapi menyejukan ketika terik siang. Memuaskan dahaga dan melegakan. Setelah membereskan semua perangkat presentasinya. Ia langsung menyalami ketiga dosen penguji.


“Kiyo mana? Kok enggak kelihatan?” Penguji bernama Pak Arhan itu bertanya sambil memberikan tatapan menggoda pada Vela ketika ia bersalaman. Ternyata gosip aneh dan enggak jelas dari mana sumbernya itu telah sampai ke lingkungan dosen. Mungkin ini karena Kiyo lumayan populer di Kampus secara tuh anak merangkap asisten lab dan menjadi salah satu asisten dosen.


“Sedang ada kerja lapangan di Bandung, Pak.”


“Oiya jangan lupa kalau nanti kalian nikah, undang-undang Bapak ya..” Goda Pak Arham lagi. Vella cuma tersenyum dan langsung pamit dari ruang sidang.


Keluar dari ruang sidang Vella melirik jam tangan. Jam setengah tiga. Ia dihadang berbagai salaman dan ucapan selamat dari teman-temannya yang telah menunggunya hingga sidang berakhir. Ia tahu kalau di antara mereka ada mahasiswa angkatannya Kiyo. Beberapa ada yang Vella kenal dan beberapa Vella cuma tahu muka tapi enggak tahu nama. Ia memaksakan diri untuk tersenyum walau sebenarnya bingung. Ia harus segera ke lab untuk bisa online di internet. Ia yakin Kiyo masih menunggunya di YM.


“Kenapa enggak memanfaatkan hot spot area yang ada di sini. Laptop kamu kan ada Wifi-nya” Bisik Asep.


“Benar juga tuh.”


Akhirnya dengan narsis Vella berkata, “Iya terima kasih untuk fans-fansku yang tadi telah setia menunggu hingga sidang selesai dan terima kasih juga atas ucapan selamatnya.”


“Uuuuu….” Mereka kontan saja sebal dan langsung beranjak pergi meninggalkan Vella dengan hormat. Mungkin mereka pikir sejak kapan ia menjadi fans Vella. Selebritis juga bukan tuh anak.


Namun saat Vella online di YM, saat itu juga ada pemberitahuan bahwa id Kiyo telah offine. Vella kecewa tapi di kotak offine message Kiyo meninggalkan pesan.


Kiyokun : Maaf Teh, Aa enggak tahu kalau Teteh sekarang sedang sidang. Tadi Aa di kasih tahu sama mamanya Teteh saat Aa telepon ke rumah. Teh, semangat yak. Oiya tolong buka link ini :

http://takiyoannabhani.multiply.com/journal/item/113/Fragmen_Senja.

Itu puisi buat Teteh. Sampai ketemu minggu depan ya.. Oiya maaf Aa belum bisa hubungin Teteh soalnya pulsa Aa habis nih. Nanti akan Aa bawain oleh-oleh dari Bandung.


Vella langsung mengklik link yang diberikan Kiyo tadi. Ia penasaran pada isi puisi tersebut. Namun alangkah kagetnya saat link itu terbuka dan proses halaman web menjadi utuh sudah sempurna. Ia mendengar suara yang tidak asing lagi di telinganya. Suara yang sangat ia hafal, dan suara yang membuat Asep melepaskan tawanya sekeras mungkin. Iya, itu suara dirinya sendiri sedang bernyanyi lagu Mojako dengan di iringi arasemen yang mungkin Kiyo buat sendiri. Vella diam menahan malu. Ternyata tempo hari itu Kiyo merekam suaranya secara diam-diam. Kalau saja ia tahu, ia tidak akan mengijinkan Kiyo merekam suaranya. Sungguh tak nyaman mendengar suara sendiri, apalagi suaranya itu kayak anak kecil dan cadel.


“Wakakaka…suara siapa tuh, Vel? Imut banget deh. Lucu. Cadel dan kesannya manja.. wakakaka…” Asep terus tertawa hingga mukanya yang putih memerah.


“Cocok banget tuh lagu sama karakter suara kamu yang anak-anak banget wakakaka.”

Vella hanya diam. Seandainya suara yang Kiyo posting bukan suaranya sendiri mungkin ia bakalan merasa senang. Tadinya ia mau ngedumel enggak jelas. Cuma melihat Asep terus tertawa tanpa henti dan ia pun…


“Wakakakakaka Kiyo nyebelin wakakaka… kenapa harus pakai suara aku yak wakakakaka…”

Dan keduanya tertawa bareng. Setelah itu ia membaca catatan penulisan puisi Fragmen Senja itu.


Lagu Mojakonya belum ketemu sampai sekarang jadi Aa punya ide ini semua. Merekam suara Teteh tanpa ijin dan memberikan arasasemen. Maaf ya, Teh. Bagi Aa, yang penting sekarang Teteh sudah bisa mendengarkan lagu Mojako walau dalam versi berbeda.


* * *


Terdengar langkah kaki terburu-buru dari dapur hingga ia tidak melihat ada tiga anak tangga yang harus ia lewati, akibatnya ia kesandung dan terjatuh. Kalau saja bukan Kiyo, tamu yang barusan Mama kasih tahu. Mungkin ia tidak akan tergesa-gesa seperti ini.


“Adddduuuuuuhhh… sakiiitt!” Teriak Vella.


“Makanya kalau jalan lihat-lihat. Enggak sabar ya pengen ketemu Afgan?” Itu suara Kiyo, dia sudah berdiri tepat di hadapan Vella dan apa itu yang dia bawa. Anak kucing Anggora. Bulunya warna putih bersih.Vella langsung berdiri dan merebut anak kucing itu dari tangan Kiyo.


“Ihh lucu banget, Mirip yak sama yang bawanya tadi, sama si Afgan kapiran.” Diangkatnya anak kucing itu tepat di sebelah wajah Kiyo untuk membuktikan kemiripannya. Kiyo langsung manyun dan kusut mukanya.


“Wakakakaka.. PISS. Makanya orang lagi jatuh bukan ditolongin malah diketawain, terpaksa deh aku bilang muka kamu mirip kucing.” Vella mengelus-ngelus kepala anak kucing itu.


“Yah…habisnya Teteh heboh banget sih nyambut kedatangan Aa mentang-mentang sudah jadi sarjana.”


“Yee biasa ajah kali.”


“Oh biasa saja yak.. ehmm yaudah. Oiya Teteh suka sama Kucing itu?”


Vella mengangguk mantap.


“Kalau gitu kucingnya buat Teteh ajah deh.”


“Eitt.. tunggu dulu, dapat dari mana nih kucing? Nyolong?”


“Enak saja ntuh kucing dari teman Aa yang tinggal di Bandung, Teh.”


Vella membawa kucing itu ke sofa ruang tengah, diikuti dengan Kiyo. Beberapa saat Vella asyik bermain dengan si kucing. Ia tak lagi menghiraukan Kiyo. Padahal dalam hati sih kangen, cuma sepertinya kucing ini lebih lucu daripada Kiyo. Malah lebih tampan.


“Teh, kucingnya belum dikasih nama tuh. Namanya siapa ya, Teh?”


Mendengar pertanyaan Kiyo tadi, Vella berhenti main dengan si kucing dan memikirkan nama yang tepat untuk si manis ini.


“Ahaaa.. Teteh tahu.”


“Siapa?”


“Mojakokiyokun.”


Vella langsung membawa kucing itu ke dalam kamar tanpa peduli protes keras dari Kiyo atas usulan nama kucing tersebut. Vella tak bermaksud menghina Kiyo dengan menyelipkan nama Kiyo pada kucing itu tetapi justru ia ingin selalu merasa dekat dengan Kiyo. Bagaimana pun status mereka berdua nantinya. Teman, sahabat, kakak, adik, atau kekasih. Tak penting.


CIREBON, Desember 2008

Berseminya Sakura Musim Gugur



Aku membuka pintu itu perlahan. Itukah dia? Dia masih saja tampan mempesona di mataku. Aku yakin dia baru saja kembali dari negeri sakura. Negeri impianku yang telah menjelma menjadi sebuah obsesi dalam hidupku. Jauh sebelum aku mengenal dia, jauh sebelum aku mencintai dia, jauh sebelum aku bersama dia, dan jauh sebelum dia benar-benar meninggalkanku.

Dia menatapku dengan lekatnya, aku pun juga namun hanya dengan tatapan dari hati. Hingga akhirnya aku tahu dari bola matanya yang berwarna hitam. Ada segumpal kerinduan di sana, kerinduan entah pada siapa. Aku tak mau menyangkanya itu untukku. Terlalu munafik juga jika aku tak merindukannya. Tetapi, bukankah dulu dia telah menggugurkan sakura impianku, padahal aku telah menantinya sangat panjang. Sampai saat ini pun aku diam-diam masih menantikannya.

Akhirnya dia berkata, “Sakura itu akan bersemi kembali jika kau mau.”

Aku hanya membisu. Itu yang memang inginku dengar darimu. Perlahan aku mendekati bibirnya yang berwarna merah. Aku ingin sekali menyentuhnya dengan bibirku sekilas, ternyata tubuhnya terlanjur memeluk tubuhku. Hangat. Sehangat mantel yang mungkin dia suka kenakan pada saat musim dingin di sana. Air mata ku menetes perlahan, hingga dia menyadarinya aku menangis.

“Jangan menangis… aku janji sakura itu akan terus tumbuh di hatiku sekali pun itu bukan musim semi”

Aku memeluknya begitu erat, erat sekali. Seolah aku dan dia adalah satu. Tak ingin ku melepaskannya. Kusadari, ternyata dia lebih berharga dari pada obsesiku akan negari sakura. Lebih berarti dari apapun.

“Tak mengapa sakura itu gugur, asal kau tetap bersamaku.” Pintaku lirih

Cirebon, Agustus 2008


NB: Gambar diambil dari http://dudutokyo.multiply.com/photos/album/16

Antara Kamu, Dia, dan Ia

Dan pada akhirnya aku tidak tahu harus mengandalkan siapa dan mencintai yang mana?

* * *

Aku ingat dia, saat aku menceritakan semua kekuranganku padamu, raut wajahmu seolah tidak peduli, hanya berkata "Ohh..." Dia? dia selalu saja bilang padaku kalau dia sangat suka sekali dengan kekuranganku. Baginya itu adalah suatu keunikan pada diriku. kemudian dia membimbingku untuk perlahan-lahan menjadikan kekuranganku itu adalah kelebihanku. Ia pun sama seperti dia, menerimaku apa adanya bahkan selalu saja menatapku dengan penuh cinta namun hanya ada bahasa isyarat selain berkata “Aku cinta kamu.”


Aku ingat dia, saat kamu dengan mudahnya berkata cinta dengan berbagai janji seindah surga dunia namun sampai sekarang pun yang ada hanya rangkaian kata. Dia pernah bilang padaku bahwa jangan mudah bilang cinta jika belum yakin pada kenyataan yang ada. Katanya lagi, diam adalah bahasa yang indah. Ironis, diantara aku dan kamu hanya ada rangkaian bahasa cinta yang lebih mirip balasan pantun. Sementara ia melakukan semuanya. Ia tidak diam untuk mengungkapkan cinta, terlalu yakin atas semua perasaannya padaku. Aku lihat semua bukti telah ia perlihatkan.


Aku ingat dia, saat kamu menyembunyikan semua nomor ponsel kamu yang lain dengan alasan hanya hubungan kantor atau dengan alasan ponsel lainnya hanya untuk internet. Dia selalu memberikan semua nomor ponsel lainnya tanpa peduli bahwa ponsel yang lainnya itu hanya untuk hubungan kantor. Ia? Ia hanya memiliki satu nomor ponsel setahuku. Ia selalu ada pada saat aku kesepian, baik dalam tulisan pesan singkat maupun dalam suara yang bergelombang di udara sana.


Aku ingat dia, saat topik bahasan hanya tentang cinta, rindu, cemburu, serta berbagai larangan yang kau sampaikan untukku dengan alasan agar terjaganya hubungan kita. Bersama dia, aku tak pernah kehilangan topik bahasan bahkan waktu sehari pun tak cukup untuk membahas berbagai hal menarik. Aku nyaman bercerita apapun tentang jelek dan buruknya aku dengan dia. Aku bebas, tanpa perlu ada yang melarangku. Mungkin dia hanya sekedar mengingatkan saja. Sementara dengan ia, aku segan untuk bercerita, membahas apa saja. Aku sangat segan dan enggan. Tidak ada kenyamanan karena aku tahu, ia hanya menganggukan kepala, hanya sebagai pendengar saja. Pendengar yang entah tidak tahu mau bicara apa ketika aku mencoba bercerita. Tak asyik!


Aku ingat dia, saat kamu menyuruhku mendengarkan lagu favoritmu atau lagu tentang kita. Dia selalu saja menyanyikan lagu favoritku dengan suaranya yang merdu bahkan dulu aku takkan bisa terlelap dengan nyenyak sebelum aku mendengarkan dia bernyanyi atau menceritakan tentang semua mimpi dan impiannya. Hebatnya, ia tidak pernah menyuruhku mendengar lagu apapun apalagi menyanyikannya untukku!


Aku ingat dia, saat aku membaca puisimu yang indah tapi entah aku selalu bingung memaknainya. Begitu banyak metafor bertabur sementara ketika aku tanyakan padamu makna dari semua puisi-puisi itu, kamu hanya menyuruhku untuk mencari tahu sendiri. Dia selalu saja membacakan puisi-puisinya terutama jika puisi itu dipersembahkan untukku. Aku bahkan bebas merekam suaranya untuk kukenang jika suatu saat aku merindukannya. Dia menerangkan aku, makna demi makna yang tersembunyi pada puisinya. Ia? Ia adalah seorang seniman yang hanya bisa berbahasa pada kertas bermajaskan ilmu pengetahuan yang tak memiliki sisi romantis sama sekali. Aku pun tidak mengerti apa makna dari semua tulisan ia. Entah mengisyaratkan sebuah kerinduan padaku atau pada ilmu-ilmu alam yang tak pasti.


Aku ragu memilih kamu meski tak kupungkiri kamu adalah seorang pria yang paling setia menantiku, kamu adalah pria yang betah menantiku dan selalu memaafkanku padahal sudah sering kuduakan cintamu dengan alasan entah, entah karena aku sendiri tidak tahu kenapa kemarin selalu saja tidak puas dengan cintamu. Padahal ada setitik rasa sayang untukmu. Walau kini sepenuh cintaku hanya untukmu tapi aku tetap saja ragu karena jarak tempat kita bernafas terpisah oleh lautan antara pulau yang sampai saat ini tidak bisa kujangkau. Aku tidak pernah tahu seperti apa kegiatan kamu di sana dan benarkah kamu benar-benar akan menjemputku kelak untuk menuju surga dunia kita. Sekali lagi, aku ragu sama kamu.


Pernah kutawarkan satu kesetiaan dan sepenuhnya tempat di hatiku untuknya karena dia adalah satu-satunya pria yang bisa memahamiku apa adanya, memahami kerapuhanku, dan menyenangi kekuranganku. Tapi dia? Ah aku pun tidak tahu dia yang sebenarnya mencintaiku atau hanya emosi sesaat. Telah kuketahui dia banyak menyukai berbagai perempuan namun dia hanya bisa menyukai, dia hanya bisa mencintai, bermain dengan perasaannya sendiri karena saat ini yang dia cari hanyalah pasangan untuk seumur hidup atas dasar prinsip! Aku ingin menunggu dia, tapi aku pikir percuma saja menantinya jika tidak ada kepastian dari dia. Jika dia hanya menjawab, “Aku bingung dan tak tahu harus memutuskan apa?” Sekali lagi, sungguh lelah mendengar jawaban yang tidak pasti.


Aku telah menghilangkan ia dengan susah payah dan menjadikan ia bukan pilihan sebagaimana ia akan kujadiakan sebagai cinta sejati. Atas nama toleransi perasaan sesama wanita dan menghargai satu hal sakral pada sebuah pernikahan yang telah ia jalani, aku menghilangkan ia. Atas nama rasa kasih sayangku pada seorang anak kecil yang pasti tidak ingin Ayahnya jarang di rumah atau pergi, aku menghilangkan ia. Atas nama norma-norma dan kenormalan hidup, aku menghilangkan ia, Namun atas nama sebuah keegoisan aku tak ingin menghilangkan ia. Keegoisan memiliki hal sempurna. Tidak, atas nama apapun, aku harus menghilangkan ia!


Dan akhirnya aku sendiri tidak tahu harus mengandalkan siapa dan mencintai yang mana. Seandainya aku boleh memilih, biarkan aku di sini untuk menanti. Menanti entah siapa yang akan kuandalkan dan kucintai kelak dengan sesempurna sebuah cinta yang tulus.


Kusadari tak ada yang bisa aku andalkan diantara ketiganya. Aku pun pamit pergi dengan tersenyum tegar. Aku sadar, yang terbaik adalah aku harus meninggalkan mereka dan menjauhi mereka. Suatu saat walau kehidupan konon katanya bisa berputar, aku tak ingin kembali lagi pada mereka meski salah satunya. Hati ini telah terluka, luka yang terbuat karena sayatan kamu, dia, dan ia.


Yogjakarta, April 2009


“Ketika aku melangkah untuk pergi dengan luka tersayat, aku berusaha untuk tersenyum tegar walau kurasa telah mendung di pelupuk mata. Taukah, yang kuinginkan lebih dari sekedar persembahan nama pada sebuah puisi.”