Pernah dimuat di rubik Oase Kompas.com
Untuk kesekian kali Calia merasakan sakit di jantungnya. Afra tak pernah menemuinya lagi di kafe ini, bahkan Afra tak pernah tampak walau sekedar meminum teh hangat atau memesan sandwich sebagai sarapan pagi.
Bodohnya, seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi, Calia tetap datang lebih pagi ke kantor agar bisa sarapan di kafe ini untuk menunggu Afra. Padahal mereka tidak pernah berjanji untuk sarapan di sini lagi. Dan pagi ini Calia kembali mengeja rasa sakitnya, mencoba menikmatinya tanpa tahu kapan dia bisa berhenti menunggu Afra di kafe ini.
“Mana sini?” Tagih Calia ketika beberapa waktu lalu tanpa sengaja mereka bertemu di suatu tempat. Di mana keduanya selalu berbincang tentang hari kemarin, tentang kegiatan-kegiatan yang sedang mereka jalani masing-masing, tentang keluh kesah, atau tentang perbincangan ringan seperti pembahasan tentang game. Bersama Afra Calia tidak pernah kehilangan topik bahasan.
“Apaan?” Afra mengerutkan kening tidak mengerti.
Jujur Calia suka sekali ekspresinya. Diam-diam ada secuil rasa lega karena kerinduan ini bisa dihapuskan kembali.
“Traktir dong, kamu kan dapet tip kemarin.” Kata Calia mengingatkan. Kemarin Afra tanpa sengaja jadi guide untuk teman bulenya yang liburan ke Jakarta selama seminggu.
“Ehmm nanti ya. Aku masih pegel-pegel nih. Gileee… semingguan istirahat nggak panjang.” Keluh Afra.
Calia tertawa. “Tapi lumayan kan jalan-jalan sama bule. Kayaknya cantik deh tuh bule sampe kamu betah.” Sindir Calia, sebenarnya diam-diam dia cemburu tanpa Afra tahu.
Dia tertawa hambar. “Cantik mah relatif, Neng. Aku malah lebih demen cewek pribumi. Justru jalan sama orang bule kayak jalan sama alien. Merasa asing gitu.” Ungkap Afra.
Calia cuma manggut-manggut. Ada perasaan lega dalam hatinya. Sesaat dia menyadari cinta ini begitu nyata untuk Afra dan Calia tidak tahu persis kapan cinta ini berawal. “Terus kapan kamu traktirin aku?”
“Kapan yaa…?” Afra menerawang, berpikir sejenak, “nantilah.” Selalu saja begitu, Afra tidak memberikan jawaban yang pasti. Mungkin sibuk. Calia berusaha mengerti karena dia adalah orang yang malas menuntut dan Calia cukup tahu diri bahwa di mata Afra dirinya hanyalah seorang adik.
“Tapi kamu janji kan mau ajak aku jalan.” Untuk kesekian kali Calia menagih janjinya akhir tahun lalu yang sampai sekarang belum terlaksana. “Aku pengen ke kota tua sama kamu.” Lirih Calia
“Ehmm nantilah…” Tiba-tiba suaranya kepotong dengan bunyi ponsel yang selalu dia simpan di saku jaketnya. “Sebentar.” Afra mohon diri beberapa langkah dari Calia.
Beberapa saat kemudian, setelah Afra mematikan ponselnya, dia menghampiri Calia lalu “Pulang yuk, udah malam. Lagian aku masih harus ke tempat teman sekarang juga.” Dia menggandeng tangan Calia namun Calia buru-buru menahannya.
“Kamu janji?” Pinta Calia dengan pandangan penuh harap dan entah kenapa detik itu juga rasanya dia ingin menangis. Sungguh dia tidak mengerti, kenapa dia jadi cengeng seperti ini.
“Aku janji.” Afra mengangguk, meyakinkannya.
Calia menyeruput cappucino hangat perlahan sembari meyakinkan diri bahwa suatu saat jika Afra memiliki waktu senggang, dia akan menepati janjinya. Bukankah selama empat tahun dekat dengannya, Afra selalu menepati janjinya. Cappucino hangat itu, dia jadi teringat kalau Afra tidak suka minum kopi atau apapun minuman yang bercampur dengan kopi.
“Udah bosen sarapan di rumah ya, Cal?” Tiba-tiba bahunya ditepuk oleh Ravi. Teman sekantornya. Ravi mengambil posisi duduk berhadapan dengannya lalu dia menaruh tas kecil dan kamera di atas meja.
Calia cuma tersenyum hambar.
“Padahal tadi aku numpang sarapan di rumah kamu loh. Sekalian jemput kamu, kita kan ada tugas ngeliput bareng, Cal. Eh.. ternyata kamu udah berangkat duluan.”
Calia tidak pernah lupa dengan tugas kantor. Kemarin dia sudah melihat agendanya tapi tetap saja tak ada semangat jika dia belum menemukan Afra. Profesional tanpa semangat. Mungkin kata itu lebih tepat disandang pada dirinya.
“Sori.” Hanya kata itu yang terucap dari bibir Calia.
“Masih nunggu Afra lagi.”
Calia mengangguk pelan. “Alfra kemana, ya?”Gumam Calia.
Ravi mengangkat kedua bahunya. “Neng, ada aku kok malah nyari Afra. Kamu kan tahu dan dunia pun mengakuinya kalo aku lebih tampan dari Afra. Lebih perhatian. Lebih….”
“Cabut yuk.” Potong Calia.
* * *
Gadis itu sudah pergi dan lagi-lagi gadis itu mengawali pagi dengan wajah mendung. Rasanya sakit sekali menatap wajah mendung gadis itu. Harusnya cinta tidak seperti ini, harusnya cinta membuat bahagia orang yang dicintai. Gadis itu membutuhkan dirinya sebagai penghasil senyum tulus di pagi hari.
Gadis itu punya mimpi yang sama seperti dirinya. Mimpi ke kota tua dan menikmati keromantisan Jakarta tempo dulu. Mimpi duduk di pinggiran jalan tol berdua hanya untuk sekedar memandang mobil-mobil ysng berjalan dengan kencang sembari diam atau saling bercerita. Mimpi menyatukan secangkir teh manis hangat dengan secangkir kopi susu setiap pagi. Dan mimpi melewatkan masa tua bersama.
Sayang, kini mimpi-mimpi mereka sudah terlambat untuk disatukan. Terlalu rumit untuk mempersatukan dirinya dengan gadis itu. Menjauh dari gadis itu adalah keputusan yang terbaik. Dia buru-buru membung jauh mimpi-mimpinya.
* * *
Calia memilih lembur malam ini, padahal deadline telah usai dan pekerjaannya sekarang bisa diselesaikan besok. Barusan dia iseng ke ruangan Afra, ternyata tanpa sengaja dia membaca sebuah agenda bahwa Afra malam ini akan lembur. Itulah alasan utamanya mengapa dia belum pulang. Dia ingin ketemu Afra, sekedar menyapanya atau menyediakan mie goreng bersama dengan teh manis hangat sebagai makan malam untuk Afra.
Sudah jam delapan malam, pasti Afra sudah ada di ruangannya. Calia tersenyum senang sambil membawa baki berisi semangkuk mie goreng dan secangkir teh hangat untuk Afra. Namun langkah kakinya mendadak terhenti di depan pintu ruangan tersebut. Ada Ravi rupanya. Mereka sedang berbicara.
“Kenapa kamu terus sembunyi dan menghindar dari Calia?” Tanya Ravi pada Afra. Calia semakin penasaran dan memasang pendengarannya lekat-lekat. Ternyata mereka sedang membicarakan dirinya. Jantung Calia berderbar, “Dia nungguin kamu terus, Fra.” Kata Ravi.
Ada helaan napas berat. “Karena saya tahu dia memiliki harapan sama saya.” Afra menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Seperti menelan suatu persoalan yang berat. Dia menerawang, menatap langit-langit.
“Dia memang berharap sama kamu tapi saya yakin dia hanya butuh dimengerti bukan dijauhi seperti ini. Dia butuh kamu tetap ada sama dia walau pun kamu nggak cinta sama dia.” Ravi berusaha memberi nasehat.
Diam-diam Calia lega. Memang benar apa yang dikatakan Ravi, dia hanya butuh dimengerti.
“Saya mencintainya. Saya sangat mencintainya, Vi!” Ungkapan Afra yang tegas tadi membuat Ravi dan Calia kaget. Ternyata perasaan ini tidak sepihak.
“Karena itu saya menjauh dari dia.” Lirih Afra.
“Kamu pengecut!” Hardik Ravi.
“Kalo saya pengecut saya akan mendekatinya.”
Ravi menatap tajam Afra. “Kalo kamu cinta sama dia. Kamu harus perjuangkan dia. Kamu harus bisa buat dia bahagia kalo nggak itu namanya kamu pengecut!”
“Saya nggak berhak dapetin dia, saya nggak pantes miliki dia.”
“Iyaa..iya.. tapi kenapa?”
Afra memejamkan matanya dan lagi-lagi menghisap rokok dalam-dalam. Calia semakin penasaran menanti jawaban Afra. “Saya ODHA! Saya kena HIV AIDS, Vi.”
Napas Calia mendadak terhenti. Dia merasa sesak mendengar jawaban tadi. Tangannya bergetar memegang baki tapi sekuat tenaga dia berusaha menahan baki itu agar tidak terjatuh. Tatapannya kosong dan tanpa disadari air matanya mengalir deras. Dia terisak.
Beberapa menit lamanya Calia sudah tidak bisa lagi mendengar percakapan Afra dan Ravi dan setelah tenang Calia mendengar Ravi terus-terusan memojokkan Afra sebagai laki-laki bejat, mereka perang mulut. Dia harus segera menengahi perdebatan mereka, dia pun masuk ke dalam.
“Calia?!” Mereka terkejut dengan kehadiran Calia.
* * *
Perempuan bule itu rupanya telah menularkan virus HIV AIDS dalam diri Afra. Calia sudah hapal gaya hidup macam apa yang sekarang dipilih Afra. Tetapi Calia tidak peduli, sekali cinta tetap cinta. Mencintai Afra telah membuat Calia memandang sisi baik dan buruk seorang manusia menjadi seimbang di matanya.
Di ruang kerja Afra kini mereka saling berhadapan. Berdua. Namun hanya ada keheningan semata. Mereka bergelut dengan pikiran dan emosi masing-masing.
“Aku terima kamu apa adanya, Fra.” Lirih Calia memecah keheningan.
“Terima kasih tapi tetap saja saya nggak bisa, Cal.” Tolak Afra.
“Kenapa nggak bisa. Kamu cinta kan sama aku?”
“Justru karena saya cinta sama kamu, saya nggak bisa, Cal. Mengertilah.”
“Jelaskan apa alasannya?”
Afra menghembuskan napasnya dalam-dalam lalu dikeluarkannya perlahan. “Saya ingin kamu bahagia, Cal. Okelah kamu bisa menerima saya apa adanya dan kita bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. Tapi mereka? Orang tua kamu, keluarga besar kamu, dan semua orang yang menyayangi kamu dari sebelum saya hadir di kehidupan kamu? Apa mereka mau menerima saya apa adanya, apa mereka sanggup melihat anak perempuan satu-satunya ini harus bersanding dengan ODHA? Saya yakin tidak, Cal. Saya tahu mereka ingin kamu mendapatkan yang terbaik. Bukan saya orangnya, Cal. Saya nggak bisa bikin kamu bahagia.” Pelan-pelan dan dengan pengertian Afra menjelaskannya.
“Tapi ini menyakitkan buat aku.” Calia mulai terisak.
“Sekarang mungkin sakit, saya pun juga sakit, Cal. Kita sama-sama tersakiti tapi suatu saat kamu akan mengerti. Kalau kamu memang tulus mencintai saya, pergilah. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.”
Calia diam dan berusaha mengeja rasa sakitnya kini. Mimpi mereka adalah menyatukan secangkir kopi dengan secangkit teh manis hangat namun mereka tidak bisa bersatu. Sama seperti kopi dan teh, mereka tidak bisa disatukan dalam resep mana pun.
“Baiklah, aku pergi tapi boleh aku minta satu hal sama kamu?” Tanya Calia.
Afra mengangguk. “Apa?”
“Aku ingin kamu tobat. Hanya itu.”
* * *
Untuk kesekian kalinya Afra melihat informasi pesawat jatuh di berita pagi. Kali ini pesawat jatuh di perairan Majene Sulawesi Barat. Dia meletakkan secangkir teh manis hangat sembari mengeluhkan kondisi penerbangan sekarang. Heran, pesawat kondisinya sudah seperti metromini masih diterbangkan juga. Padahal itu menyangkut ratusan nyawa orang. Di mana hati nurani pemilik maskapai penerbangan itu? Cuma memikirkan untung saja. Hardik Afra kesal.
Tiba-tiba entah mengapa Afra ingin sekali menelepon Ravi untuk menanyakan keberadaan Calia. Aneh memang. Dia langsung mengambil ponsel yang tak jauh letaknya dari cangkir teh manis hangat tadi.
“Vi, Calia lagi ngeliput di mana?”
Setelah mengakhiri percakapan di ponsel dengan Ravi. Afra mentap layar televisi dengan lemas. Hatinya sakit sekali dan matanya nanar, baru kali ini dia menangis. Calia ada di pesawat itu.
Berpisah dengan Calia adalah keputusan yang terbaik tapi dia tidak menyangka kali ini dia benar-benar berpisah dengan Calia. Dia tidak akan pernah bisa melihat Calia lagi.
Tetapi diam-diam dia bersyukur menyandang ODHA. Tuhan akan memperpendek waktunya di dunia untuk bersatu dengan Calia di sana.
* * *
Pada pagi hari di kafe ini, Afra sudah berada di sana dengan ditemani secangkir teh manis hangat dan sandwich. Tidak dia temukan lagi Calia di sana tetapi dia merasa Calia menyertainya. Mungkin itu juga yang membuat Afra betah duduk berlama-lama di kafe ini. Hingga jam menunjukan pukul sembilan, hingga Ravi datang membawa laporan liputan kemarin lalu meminta diri sebentar kepada Ravi sebelum memulai pekerjaannya. Untuk sholat Dhuha.
Pada pagi hari di kafe ini, Afra semakin yakin bahwa mimpinya untuk menyatukan secangkir kopi dengan secangkit teh manis hangat dalam racikan yang sesuai akan segera terwujud. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja.
SELESAI
Tebet-Jakarta
3 Februari 2010
Untuk Pamela Al-Huriyah yang ingin dimengerti
Selasa, 27 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar