Sabtu, 05 September 2009

Berseminya Sakura Musim Gugur



Aku membuka pintu itu perlahan. Itukah dia? Dia masih saja tampan mempesona di mataku. Aku yakin dia baru saja kembali dari negeri sakura. Negeri impianku yang telah menjelma menjadi sebuah obsesi dalam hidupku. Jauh sebelum aku mengenal dia, jauh sebelum aku mencintai dia, jauh sebelum aku bersama dia, dan jauh sebelum dia benar-benar meninggalkanku.

Dia menatapku dengan lekatnya, aku pun juga namun hanya dengan tatapan dari hati. Hingga akhirnya aku tahu dari bola matanya yang berwarna hitam. Ada segumpal kerinduan di sana, kerinduan entah pada siapa. Aku tak mau menyangkanya itu untukku. Terlalu munafik juga jika aku tak merindukannya. Tetapi, bukankah dulu dia telah menggugurkan sakura impianku, padahal aku telah menantinya sangat panjang. Sampai saat ini pun aku diam-diam masih menantikannya.

Akhirnya dia berkata, “Sakura itu akan bersemi kembali jika kau mau.”

Aku hanya membisu. Itu yang memang inginku dengar darimu. Perlahan aku mendekati bibirnya yang berwarna merah. Aku ingin sekali menyentuhnya dengan bibirku sekilas, ternyata tubuhnya terlanjur memeluk tubuhku. Hangat. Sehangat mantel yang mungkin dia suka kenakan pada saat musim dingin di sana. Air mata ku menetes perlahan, hingga dia menyadarinya aku menangis.

“Jangan menangis… aku janji sakura itu akan terus tumbuh di hatiku sekali pun itu bukan musim semi”

Aku memeluknya begitu erat, erat sekali. Seolah aku dan dia adalah satu. Tak ingin ku melepaskannya. Kusadari, ternyata dia lebih berharga dari pada obsesiku akan negari sakura. Lebih berarti dari apapun.

“Tak mengapa sakura itu gugur, asal kau tetap bersamaku.” Pintaku lirih

Cirebon, Agustus 2008


NB: Gambar diambil dari http://dudutokyo.multiply.com/photos/album/16

2 komentar:

  1. hemmmmmmmmmmmm, cerpennya lebih condong kepada prosa ya..., hanya menampilkan konflik pribadi orang pertama sebagai pencerita, coba tampilkan konflik dialog dengan orang kedua, maka akan lebih hidup...

    BalasHapus
  2. iyaa, tadinya pengen bikin tanpa percakapan eehh akhirnya jadi kayak gini. tapi aku nggak niat untuk memperpanjang prosanya, mas ^^

    BalasHapus