Dan pada akhirnya aku tidak tahu harus mengandalkan siapa dan mencintai yang mana?
* * *
Aku ingat dia, saat aku menceritakan semua kekuranganku padamu, raut wajahmu seolah tidak peduli, hanya berkata "Ohh..." Dia? dia selalu saja bilang padaku kalau dia sangat suka sekali dengan kekuranganku. Baginya itu adalah suatu keunikan pada diriku. kemudian dia membimbingku untuk perlahan-lahan menjadikan kekuranganku itu adalah kelebihanku. Ia pun sama seperti dia, menerimaku apa adanya bahkan selalu saja menatapku dengan penuh cinta namun hanya ada bahasa isyarat selain berkata “Aku cinta kamu.”
Aku ingat dia, saat kamu dengan mudahnya berkata cinta dengan berbagai janji seindah surga dunia namun sampai sekarang pun yang ada hanya rangkaian kata. Dia pernah bilang padaku bahwa jangan mudah bilang cinta jika belum yakin pada kenyataan yang ada. Katanya lagi, diam adalah bahasa yang indah. Ironis, diantara aku dan kamu hanya ada rangkaian bahasa cinta yang lebih mirip balasan pantun. Sementara ia melakukan semuanya. Ia tidak diam untuk mengungkapkan cinta, terlalu yakin atas semua perasaannya padaku. Aku lihat semua bukti telah ia perlihatkan.
Aku ingat dia, saat kamu menyembunyikan semua nomor ponsel kamu yang lain dengan alasan hanya hubungan kantor atau dengan alasan ponsel lainnya hanya untuk internet. Dia selalu memberikan semua nomor ponsel lainnya tanpa peduli bahwa ponsel yang lainnya itu hanya untuk hubungan kantor. Ia? Ia hanya memiliki satu nomor ponsel setahuku. Ia selalu ada pada saat aku kesepian, baik dalam tulisan pesan singkat maupun dalam suara yang bergelombang di udara
Aku ingat dia, saat topik bahasan hanya tentang cinta, rindu, cemburu, serta berbagai larangan yang kau sampaikan untukku dengan alasan agar terjaganya hubungan kita. Bersama dia, aku tak pernah kehilangan topik bahasan bahkan waktu sehari pun tak cukup untuk membahas berbagai hal menarik. Aku nyaman bercerita apapun tentang jelek dan buruknya aku dengan dia. Aku bebas, tanpa perlu ada yang melarangku. Mungkin dia hanya sekedar mengingatkan saja. Sementara dengan ia, aku segan untuk bercerita, membahas apa saja. Aku sangat segan dan enggan. Tidak ada kenyamanan karena aku tahu, ia hanya menganggukan kepala, hanya sebagai pendengar saja. Pendengar yang entah tidak tahu mau bicara apa ketika aku mencoba bercerita. Tak asyik!
Aku ingat dia, saat kamu menyuruhku mendengarkan lagu favoritmu atau lagu tentang kita. Dia selalu saja menyanyikan lagu favoritku dengan suaranya yang merdu bahkan dulu aku takkan bisa terlelap dengan nyenyak sebelum aku mendengarkan dia bernyanyi atau menceritakan tentang semua mimpi dan impiannya. Hebatnya, ia tidak pernah menyuruhku mendengar lagu apapun apalagi menyanyikannya untukku!
Aku ingat dia, saat aku membaca puisimu yang indah tapi entah aku selalu bingung memaknainya. Begitu banyak metafor bertabur sementara ketika aku tanyakan padamu makna dari semua puisi-puisi itu, kamu hanya menyuruhku untuk mencari tahu sendiri. Dia selalu saja membacakan puisi-puisinya terutama jika puisi itu dipersembahkan untukku. Aku bahkan bebas merekam suaranya untuk kukenang jika suatu saat aku merindukannya. Dia menerangkan aku, makna demi makna yang tersembunyi pada puisinya. Ia? Ia adalah seorang seniman yang hanya bisa berbahasa pada kertas bermajaskan ilmu pengetahuan yang tak memiliki sisi romantis sama sekali. Aku pun tidak mengerti apa makna dari semua tulisan ia. Entah mengisyaratkan sebuah kerinduan padaku atau pada ilmu-ilmu alam yang tak pasti.
Aku ragu memilih kamu meski tak kupungkiri kamu adalah seorang pria yang paling setia menantiku, kamu adalah pria yang betah menantiku dan selalu memaafkanku padahal sudah sering kuduakan cintamu dengan alasan entah, entah karena aku sendiri tidak tahu kenapa kemarin selalu saja tidak puas dengan cintamu. Padahal ada setitik rasa sayang untukmu. Walau kini sepenuh cintaku hanya untukmu tapi aku tetap saja ragu karena jarak tempat kita bernafas terpisah oleh lautan antara pulau yang sampai saat ini tidak bisa kujangkau. Aku tidak pernah tahu seperti apa kegiatan kamu di
Pernah kutawarkan satu kesetiaan dan sepenuhnya tempat di hatiku untuknya karena dia adalah satu-satunya pria yang bisa memahamiku apa adanya, memahami kerapuhanku, dan menyenangi kekuranganku. Tapi dia? Ah aku pun tidak tahu dia yang sebenarnya mencintaiku atau hanya emosi sesaat. Telah kuketahui dia banyak menyukai berbagai perempuan namun dia hanya bisa menyukai, dia hanya bisa mencintai, bermain dengan perasaannya sendiri karena saat ini yang dia cari hanyalah pasangan untuk seumur hidup atas dasar prinsip! Aku ingin menunggu dia, tapi aku pikir percuma saja menantinya jika tidak ada kepastian dari dia. Jika dia hanya menjawab, “Aku bingung dan tak tahu harus memutuskan apa?” Sekali lagi, sungguh lelah mendengar jawaban yang tidak pasti.
Aku telah menghilangkan ia dengan susah payah dan menjadikan ia bukan pilihan sebagaimana ia akan kujadiakan sebagai cinta sejati. Atas nama toleransi perasaan sesama wanita dan menghargai satu hal sakral pada sebuah pernikahan yang telah ia jalani, aku menghilangkan ia. Atas nama rasa kasih sayangku pada seorang anak kecil yang pasti tidak ingin Ayahnya jarang di rumah atau pergi, aku menghilangkan ia. Atas nama norma-norma dan kenormalan hidup, aku menghilangkan ia, Namun atas nama sebuah keegoisan aku tak ingin menghilangkan ia. Keegoisan memiliki hal sempurna. Tidak, atas nama apapun, aku harus menghilangkan ia!
Dan akhirnya aku sendiri tidak tahu harus mengandalkan siapa dan mencintai yang mana. Seandainya aku boleh memilih, biarkan aku di sini untuk menanti. Menanti entah siapa yang akan kuandalkan dan kucintai kelak dengan sesempurna sebuah cinta yang tulus.
Kusadari tak ada yang bisa aku andalkan diantara ketiganya. Aku pun pamit pergi dengan tersenyum tegar. Aku sadar, yang terbaik adalah aku harus meninggalkan mereka dan menjauhi mereka. Suatu saat walau kehidupan konon katanya bisa berputar, aku tak ingin kembali lagi pada mereka meski salah satunya. Hati ini telah terluka, luka yang terbuat karena sayatan kamu, dia, dan ia.
Yogjakarta, April 2009
“Ketika aku melangkah untuk pergi dengan luka tersayat, aku berusaha untuk tersenyum tegar walau kurasa telah mendung di pelupuk mata. Taukah, yang kuinginkan lebih dari sekedar persembahan nama pada sebuah puisi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar