Sabtu, 05 September 2009

Mojakokiyokun

Kamar dengan wallpapper bermotif bunga dan latar berwarna biru muda terlihat berantakan. CD MP3 dan beberapa kaset tape berserahkan di lantai. Hampir semua laci, lemari, dan semua tempat penyimpanan yang ada di kamar sudah Vella bongkar, namun tidak ia temukan apa yang sedang dicarinya. Ia garuk-garuk kepala. Bingung harus mencari kemana lagi. Wajahnya terlihat kusut.


“Ya ampun! Kok kamar kayak kapal pecah sih, Teh?” Kiyo sudah berada di depan kamar. Dari tadi Vella memang membiarkan pintu kamar terbuka tapi ia tidak menyangka Kiyo akan datang ke rumah tanpa kabar berita terlebih dulu via HP. Vella hanya mesem-mesem, menahan malu ruang privasinya yang super berantakan terlihat oleh Kiyo.


“Sepertinya sedang mencari sesuatu.” Kiyo melangkah masuk kamar dan duduk di sisi ranjang yang sudah terpisah dari balutan sprei.


“Iya nih, aku lagi nyari kaset aku waktu kecil itu.”


Kiyo mengerutkan kening, “Kaset apaan, Teh?”


“Itu lho soundtrack film kartun Mojako.”


“Film Mojako? Oh iya iya… dulu waktu kita kecil kalau enggak salah di putar di TPI kan? Tapi Teteh aneh banget, sudah mau jadi sarjana masih suka lagu anak kecil. Mendingan dengarin lagu Goyang Duyu deh. Ayo goyang duyu…bebaskanlah hatimu… Asyik…asyik.. angkat jempolnya, asyik!” Kiyo meniru tarian kayak di video klipnya Project Pop. Narsis! Lucu juga kalau Kiyo goyang, kesannya maksa banget. Tak ada lenturnya sama sekali.


“Aa jelek plis deh, aa tuh pantesnya goyang gergaji kali. Lebih hot kayak si Depe ntu tuh.”


“Kalau yang itu mah goyangannya Teteh kali hahaha.”


Vella langsung memasang muka cemberut seseram mungkin pada Kiyo. Ironisnya Kiyo malah makin tambah keras ketawanya.


“Terus…iya terus ketawa sekalian saja digedein volume ketawanya biar tetangga kiri kanan pada denger.” Hardik Vella.


“Iya iya Teteh sayang, ampun!” Sepertinya Kiyo sudah hafal apa yang terjadi kalau ia semakin mengeraskan ketawanya pasti Vella akan mengusir dirinya dan membatalkan proyek novel kolaborasi mereka. Itu mungkin akan menjadi bencana untuk Kiyo.


“Untuk apa sih tuh lagu? Emang enak ya lagunya?”


Vella lalu menceritakan kalau kemarin ia mendengarkan lagu itu pada saat menemani Joule, kakaknya, latihan band. Itupun karena Felin, teman satu band Joule, menyanyikannya tapi lagu itu diiringi dengan instrument jazz.


“Pokoknya cocok banget deh sama karakter suaranya Teh Felin.”


“Seperti apa tuh lagu? Bisakah Teteh menyanyikannya?”


Vella mengangguk mantap lalu bernyanyi pada bagian reff,


Kata-kata yang indah..

Tidaklah perlu….

Untuk menyenangkan hati…

Hingga waktupun terlupakan…


“Bisa di ulang dari awal, sebelum reff?” Pinta Kiyo.


Vella pun menyanyikannya dari awal hingga lagu habis. Ia sangat menikmati setiap lirik-liriknya. Bernyanyi di depan Kiyo sudah biasa buat dia. Tak ada rasa malu lagi walau Kiyo selalu bilang kalau suaranya kayak anak kecil. Baginya, yang penting ia nyanyi untuk dirinya sendiri bukan untuk konsumsi publik, halah.


“Sekarang Teteh bereskan dulu kamarnya. Nanti Aa cariin lagunya di internet. Lagian Teteh sebentar lagi sidangkan? Bukannya belajar malah cari lagu Mojako. Enggak mungkin dong nanti penguji menanyakan lagunya Mojako.”


Vella nyengir. Terkadang ia heran pada dirinya dan tentu saja pada Kiyo karena Kiyo usianya lebih muda dua tahun darinya tapi sepertinya yang lebih pantas menyandang status “kakak” itu adalah Kiyo daripada dirinya.


“Mau kemana?” Tanya Vella ketika Kiyo beranjak dan bersiap akan pergi.


“Ke Kampus, Teh. Ada jadwal.”


“Halah hari gene masih ada jadwal di kampus. Capek deh!” Ledek Vella sembari menepukkan kening.


“Awas ya..nanti enggak Aa cariin lagunya Mojako nih.” Ancam Kiyo sambil pura-pura cemberut.

“Hahahahaha….”


* * *


Hujan terus mengguyur mana kala senja mulai menampakan diri dengan malu-malu. Pada salah satu kursi di kantin kampus terlihat Vella sedang menikmati cappucinno hangat. Ia menunggu hujan reda hingga nanti bisa pulang tanpa harus basah kuyup ketika sampai di rumah. Kalau saja Kiyo masih ada di Cirebon, ia pasti bisa menemani Vella di sini. Membahas tentang proyek novel kolaborasi mereka. Sayang, selama dua minggu Kiyo harus ada di Bandung untuk kerja lapangan.


Seorang Kiyo bisa berperan sebagai adik, kakak, dan sahabat bagi Vella. Entah bagaimana awalnya. Tidak penting. Saat ini ia sungguh menyayangi Kiyo seperti saudara kandungnya sendiri. Walau di lingkungan kampus telah menimbulkan gosip akibat kedekatan mereka dan banyak teman-teman dari pihak masing-masing menyarankan mereka untuk jadian, tapi Vella tidak peduli. Ia malah sempat tersenyum geli membayangkan kalau nanti benaran ia akan jadian sama Kiyo. Ia bakalan jalan sama brondong. Padahal buat Vella brondong enggak banget alias bukan tipe idealnya.


Getaran pada kantung celana, bertanda SMS masuk dari HP CDMA. Membuat lamunan Vella buyar dan reflek tangannya mengambil HP dari kantung. Ia dapat SMS dari Kiyo.


Teh, maaf lagu Mojakonya belum ketemu. Lusa jam satu siang mampir ke blog Aa ya. Kebetulan jam segitu Aa juga akan OL di YM. Jangan lupa jam satu siang, sukses ya Teh buat sidangnya.


Sampai sekarang Vella juga belum mendapatkan lagu Mojako. Padahal hampir tiap hari Vella berselancar di dunia maya tapi tak jua ia temukan apa yang dicari bahkan Om Google pun tak dapat membantunya. SMS itu tidak dibalas oleh Vella dengan alasan tidak ada pulsa. Ia sedang krisis keuangan karena tanggalan tua. Duit bulanan dari orang tua menipis. Iseng ia membuka PDA dan melirik agenda dalam beberapa hari ke depan hingga akhir Desember. Pandangannya tertuju pada jadwal lusa. Sidang jam satu siang! Mendadak panik. Ia lupa memberi tahu Kiyo atas jadwal sidangnya. Kiyo hanya tahu dalam minggu-minggu ini ia akan sidang. Terlebih lagi itu bertepatan oleh jadwal chatting dengan Kiyo. Sidang kira-kira akan berlangsung selama satu jam, itu pun kalau molor bisa satu setengah jam lebih. Gimana ini. Ingin sekali ia segera SMS untuk memundurkan jadwal chatting dan lagi-lagi terbentur penghabisan pulsa. Huff.. Seandainya saat ini bukan tanggal tua.


* * *


Sudah pukul satu lebih sepuluh menit namun tak jua Vella dipanggil ke ruang sidang. Ia gelisah, pikirannya bercabang. Antara sidang dan Kiyo. Sesekali ia melirik jam tangan dan bergantian pandangannya pada pintu ruang sidang. Hampir semua mahasiswa menganggap ruangan itu adalah hal yang menakutkan. Ruangan penentu masa depan, jawaban atas perjalanan selama empat tahun bahkan lebih. Hanya ada dua pilihan ketika kita keluar dari ruang sidang itu. Lulus atau tidak. Apapun jawaban dari kedua pilihan tersebut, Vella sudah bertekad untuk berusaha semaksimal mungkin agar bisa lulus.


Ia kembali resah memikirkan Kiyo. Lelaki itu pasti sedang menantinya di jagat maya. Walau ia tahu kalau Kiyo tidak akan marah dengan ketidakhadirannya namun ada rasa tak enak. Tidak Vella pungkiri ada kerinduan menyelip dalam hatinya pada Kiyo.Ia ingin berbagi cerita pada Kiyo seusai sidang nanti. Ketika melihat Asep, sahabat satu angkatan yang juga akan sidang, tiba-tiba ia dapat ide.


“Sep, kamu ada pulsakan? Minta dong buat satu SMS.” Vella meminta pada Asep yang duduk bersebelahan dengannya di depan ruang sidang.


“Kamu telat mintanya, barusan pulsa aku pakai buat telepon sampai habis.”


“Gitu ya…” Vella menampakan ekspresi kecewa. Mungkin sudah skenario , ia belum bisa berkomunikasi dengan Kiyo sampai sekarang. Tanya kenapa!


“Buat SMS siapa sih?” Tanya Asep.


“Kiyo.”


“Ooo.. jadi ada yang mau minta dukungan suami nih buat sidang. Ciye…. Pantas tuh muka dari tadi kelihatan kayak benang kusut. Ternyata oh…ternyata.”


Terang saja Vella ngamuk mendengarnya. Ia sebal, sejak kapan lagi si Kiyo itu berubah status menjadi suami. Jadian saja enggak pernah.


“Hah.. Suami dari Hongkong!”


“Hongkong saja enggak pernah nikah sama Kavellania yak hahahahaha…” Sambung Asep.


Baru saja Vella akan memukul punggung Asep pakai lembaran skripsnya. Tiba-tiba tersengar panggilan yang menyuruhnya untuk segera masuk ke ruang sidang.


“Semangat, Vel. Sebut nama Kiyo tiga kali kalau mentok wakakakaka.”


Sambil berjalan ke ruang sidang, Vella mendelik sebal ke Asep.


Sekeras mungkin Vella berusaha untuk fokus pada materi skripsi agar bisa mempresentasikannya dengan baik. Apalagi sebelumnya ia harus mengerjakan beberapa soal pemrograman dari penguji. Beruntung ia bisa, peran Kiyo memang cukup besar di sini. Saat mengerjakan soal tadi, Vella teringat pada Kiyo yang selalu memaksanya untuk belajar pemrograman. Kiyo bilang, suka atau tidak suka dengan logika bahasa pemrograman, ia harus memaksakan diri untuk bisa jika ingin lulus sidang. Kiyo selalu marah kalau dirinya mulai malas untuk belajar. Ternyata semua yang Kiyo lakukan kemarin benar-benar membantunya di sidang. Terima kasih


Semua argumentasi tiga penguji Vella jawab tanpa ragu-ragu. Salah atau benar jawaban itu, ia harus tetap terlihat yakin dihadapan penguji. Ia hanya berharap Kiyo benar-benar memahaminya mengapa kali ini ia tidak bisa memenuhi jadwal chatting yang telah ditentukan Kiyo.


“Tadi kamu bisa mengerjakan soal pemrograman tapi kenapa kamu memilih untuk membuat animasi?” Tanya salah satu dosen penguji.


Vella tersenyum. “Saya lebih tertarik dengan animasi daripada bahasa pemrograman, Pak. Menurut saya animasi lebih memaksimalkan imajinasi saya dan saya lebih suka memainkan imajinasi saya daripada bermain dengan logika.”


Dan..


“Oke sebuah argumentasi yang bisa diterima dan… selamat kamu lulus!”


Jawaban dan ucapan selamat dari salah satu dosen penguji tadi benar-benar membuat Vella merasa tersiram air es. Dingin tapi menyejukan ketika terik siang. Memuaskan dahaga dan melegakan. Setelah membereskan semua perangkat presentasinya. Ia langsung menyalami ketiga dosen penguji.


“Kiyo mana? Kok enggak kelihatan?” Penguji bernama Pak Arhan itu bertanya sambil memberikan tatapan menggoda pada Vela ketika ia bersalaman. Ternyata gosip aneh dan enggak jelas dari mana sumbernya itu telah sampai ke lingkungan dosen. Mungkin ini karena Kiyo lumayan populer di Kampus secara tuh anak merangkap asisten lab dan menjadi salah satu asisten dosen.


“Sedang ada kerja lapangan di Bandung, Pak.”


“Oiya jangan lupa kalau nanti kalian nikah, undang-undang Bapak ya..” Goda Pak Arham lagi. Vella cuma tersenyum dan langsung pamit dari ruang sidang.


Keluar dari ruang sidang Vella melirik jam tangan. Jam setengah tiga. Ia dihadang berbagai salaman dan ucapan selamat dari teman-temannya yang telah menunggunya hingga sidang berakhir. Ia tahu kalau di antara mereka ada mahasiswa angkatannya Kiyo. Beberapa ada yang Vella kenal dan beberapa Vella cuma tahu muka tapi enggak tahu nama. Ia memaksakan diri untuk tersenyum walau sebenarnya bingung. Ia harus segera ke lab untuk bisa online di internet. Ia yakin Kiyo masih menunggunya di YM.


“Kenapa enggak memanfaatkan hot spot area yang ada di sini. Laptop kamu kan ada Wifi-nya” Bisik Asep.


“Benar juga tuh.”


Akhirnya dengan narsis Vella berkata, “Iya terima kasih untuk fans-fansku yang tadi telah setia menunggu hingga sidang selesai dan terima kasih juga atas ucapan selamatnya.”


“Uuuuu….” Mereka kontan saja sebal dan langsung beranjak pergi meninggalkan Vella dengan hormat. Mungkin mereka pikir sejak kapan ia menjadi fans Vella. Selebritis juga bukan tuh anak.


Namun saat Vella online di YM, saat itu juga ada pemberitahuan bahwa id Kiyo telah offine. Vella kecewa tapi di kotak offine message Kiyo meninggalkan pesan.


Kiyokun : Maaf Teh, Aa enggak tahu kalau Teteh sekarang sedang sidang. Tadi Aa di kasih tahu sama mamanya Teteh saat Aa telepon ke rumah. Teh, semangat yak. Oiya tolong buka link ini :

http://takiyoannabhani.multiply.com/journal/item/113/Fragmen_Senja.

Itu puisi buat Teteh. Sampai ketemu minggu depan ya.. Oiya maaf Aa belum bisa hubungin Teteh soalnya pulsa Aa habis nih. Nanti akan Aa bawain oleh-oleh dari Bandung.


Vella langsung mengklik link yang diberikan Kiyo tadi. Ia penasaran pada isi puisi tersebut. Namun alangkah kagetnya saat link itu terbuka dan proses halaman web menjadi utuh sudah sempurna. Ia mendengar suara yang tidak asing lagi di telinganya. Suara yang sangat ia hafal, dan suara yang membuat Asep melepaskan tawanya sekeras mungkin. Iya, itu suara dirinya sendiri sedang bernyanyi lagu Mojako dengan di iringi arasemen yang mungkin Kiyo buat sendiri. Vella diam menahan malu. Ternyata tempo hari itu Kiyo merekam suaranya secara diam-diam. Kalau saja ia tahu, ia tidak akan mengijinkan Kiyo merekam suaranya. Sungguh tak nyaman mendengar suara sendiri, apalagi suaranya itu kayak anak kecil dan cadel.


“Wakakaka…suara siapa tuh, Vel? Imut banget deh. Lucu. Cadel dan kesannya manja.. wakakaka…” Asep terus tertawa hingga mukanya yang putih memerah.


“Cocok banget tuh lagu sama karakter suara kamu yang anak-anak banget wakakaka.”

Vella hanya diam. Seandainya suara yang Kiyo posting bukan suaranya sendiri mungkin ia bakalan merasa senang. Tadinya ia mau ngedumel enggak jelas. Cuma melihat Asep terus tertawa tanpa henti dan ia pun…


“Wakakakakaka Kiyo nyebelin wakakaka… kenapa harus pakai suara aku yak wakakakaka…”

Dan keduanya tertawa bareng. Setelah itu ia membaca catatan penulisan puisi Fragmen Senja itu.


Lagu Mojakonya belum ketemu sampai sekarang jadi Aa punya ide ini semua. Merekam suara Teteh tanpa ijin dan memberikan arasasemen. Maaf ya, Teh. Bagi Aa, yang penting sekarang Teteh sudah bisa mendengarkan lagu Mojako walau dalam versi berbeda.


* * *


Terdengar langkah kaki terburu-buru dari dapur hingga ia tidak melihat ada tiga anak tangga yang harus ia lewati, akibatnya ia kesandung dan terjatuh. Kalau saja bukan Kiyo, tamu yang barusan Mama kasih tahu. Mungkin ia tidak akan tergesa-gesa seperti ini.


“Adddduuuuuuhhh… sakiiitt!” Teriak Vella.


“Makanya kalau jalan lihat-lihat. Enggak sabar ya pengen ketemu Afgan?” Itu suara Kiyo, dia sudah berdiri tepat di hadapan Vella dan apa itu yang dia bawa. Anak kucing Anggora. Bulunya warna putih bersih.Vella langsung berdiri dan merebut anak kucing itu dari tangan Kiyo.


“Ihh lucu banget, Mirip yak sama yang bawanya tadi, sama si Afgan kapiran.” Diangkatnya anak kucing itu tepat di sebelah wajah Kiyo untuk membuktikan kemiripannya. Kiyo langsung manyun dan kusut mukanya.


“Wakakakaka.. PISS. Makanya orang lagi jatuh bukan ditolongin malah diketawain, terpaksa deh aku bilang muka kamu mirip kucing.” Vella mengelus-ngelus kepala anak kucing itu.


“Yah…habisnya Teteh heboh banget sih nyambut kedatangan Aa mentang-mentang sudah jadi sarjana.”


“Yee biasa ajah kali.”


“Oh biasa saja yak.. ehmm yaudah. Oiya Teteh suka sama Kucing itu?”


Vella mengangguk mantap.


“Kalau gitu kucingnya buat Teteh ajah deh.”


“Eitt.. tunggu dulu, dapat dari mana nih kucing? Nyolong?”


“Enak saja ntuh kucing dari teman Aa yang tinggal di Bandung, Teh.”


Vella membawa kucing itu ke sofa ruang tengah, diikuti dengan Kiyo. Beberapa saat Vella asyik bermain dengan si kucing. Ia tak lagi menghiraukan Kiyo. Padahal dalam hati sih kangen, cuma sepertinya kucing ini lebih lucu daripada Kiyo. Malah lebih tampan.


“Teh, kucingnya belum dikasih nama tuh. Namanya siapa ya, Teh?”


Mendengar pertanyaan Kiyo tadi, Vella berhenti main dengan si kucing dan memikirkan nama yang tepat untuk si manis ini.


“Ahaaa.. Teteh tahu.”


“Siapa?”


“Mojakokiyokun.”


Vella langsung membawa kucing itu ke dalam kamar tanpa peduli protes keras dari Kiyo atas usulan nama kucing tersebut. Vella tak bermaksud menghina Kiyo dengan menyelipkan nama Kiyo pada kucing itu tetapi justru ia ingin selalu merasa dekat dengan Kiyo. Bagaimana pun status mereka berdua nantinya. Teman, sahabat, kakak, adik, atau kekasih. Tak penting.


CIREBON, Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar