Sabtu, 05 September 2009

Penjagaan Atas Sebuah Luka


Senja pun datang kembali perlahan selimuti

Sekilas cahaya mentari yang pergi

Kau lepaskan gelisahmu pejam dua matamu

Sandarkan di atas bahuku, menangis


Sayup-sayup terdengar lagu lamanya The Rain dengan judul Jangan Pergi dari winamp komputer kesayangan saya ketika saya sedang menulis artikel laporan kepergian saya ke Yogjakarta-Semarang. Kosentrasi saya buyar dan mendadak tidak fokus pada apa yang sedang saya buat bahkan saya sudah tak mampu melanjutkannya lagi. Semua seolah terhenti. Lagu itu, entah kenapa saya harus memilih lagu itu ke dalam list winamp dan saya pun tak mengerti mengapa lagu itu masih saja saya simpan dengan rapih dalam file musik di komputer saya.


Kenangan beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat saya masih duduk di kelas tiga SMA itu kembali membayang dalam benak saya laksana suara hati yang memberikan sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk saya jawab meski untuk diri saya sendiri. Ya, seolah menanyakan apakah itu suatu tanda bahwa saya masih mencintainya setengah mati atau hanya sebuah kenangan yang terlintas lewat sesaat untuk kemudian saya pun tersenyum kembali jika mengingatnya. Tapi saya tidak senang. Saya tidak menyukai kenangan itu. Lebih tepatnya saya tidak ingin hidup kembali dengan bayang-bayang masa lalu tak penting.


Mungkin karena kenangan itu saya jadi tidak menyukai senja padahal itu indah. Saya selalu mengakui senja itu indah tapi saya tidak suka, lagi-lagi karena kenangan itu. Kenangan yang membuat saya tergoda untuk kembali pada masa lalu dan mengulanginya dengan lebih indah agar suatu saat tidak menjadi hal yang menyakitkan untuk dikenang. Kenangan yang membuat saya selalu ingin pulang dan tinggal di kotamu, kenangan yang membuat saya sampai saat ini tidak bisa mencintai seseorang lagi seperti saya mencintai kamu atas dasar ketidakpercayaan.


Ya, sejak kamu pergi, saya selalu takut untuk mencintai orang lain sepenuh hati saya. Sebelum orang itu benar-benar membuktikan bahwa dia cinta sama saya tapi kenyataannya mereka – orang yang mengaku mencintai saya – belum ada satu pun yang terbukti bahwa mereka benar-benar mencintai saya. Perlahan dan satu per satu mereka pergi meninggalkan saya seperti kamu meninggalkan saya dulu.


Dan bila kau telah pergi jauh dariku

Terasa semakin dalam sayangku untukmu

Tapi yang terindah jangan pergi jauh

Kusendiri di sini


Saya ingat pada malam itu, saya sedang menginap di rumah Ita (sahabat saya) karena saya pulang kemalaman setelah belajar kelompok untuk bersiap menghadapi UAN, UNAS, atau entahlah akan berganti apalagi nama semacam itu. Saya panik karena pesan singkat yang saya kirim ke kamu lebih dari sepuluh pesan. Sama sekali tak kamu balas. Saya menghubungi ponsel kamu, tidak ada jawaban apa-apa selain berakhir dengan layanan mail box. Sampai akhirnya saya ke wartel untuk telepon kost kamu tapi lagi-lagi tak ada yang menjawab. Sumpah saya panik dan tidak bisa tidur malam itu juga karena memikirkan keadaan kamu, memikirkan kamu dengan siapa di sana, hingga memikirkan kemungkinan terburuk yaitu kamu telah meninggalkan saya begitu saja tanpa alasan. Saya menangis. Ita memeluk saya. Membujuk saya untuk berhenti menangis. Saat itu saya cengeng sekali tapi saya rasa wajar karena boleh dibilang kamu adalah cowok pertama saya meski bukan cinta pertama saya. Saya takut sekali untuk kehilangan kamu. Saya sangat mencintai kamu kala itu.


Hanya pelukan Ita dan lagu ini, lagu yang sedang saya putar saat ini berkali-kali di komputer saya. Menemani saya, membujuk saya sampai dering ponsel saya akhirnya berbunyi, saat itu jam di dinding menunjukan pukul dua belas keatas (saya lupa jam berapa persisnya). Itu dari kamu, ingin rasanya saya marah sama kamu, saya ngambek sama kamu tapi saya hanya bisa menangis. Entah sedih, entah bahagia karena kamu bilang kamu lupa membawa ponsel kamu ke Klaten, rumah Eyangmu. Kamu minta maaf dan besoknya saya menemukan kamu di Stasiun Cirebon. Ya, kamu mengunjungi saya sebagai permintaan maaf karena kamu sudah buat saya cemas setengah mati.


Saya dan kamu menghabiskan waktu bersama untuk beberapa hari ke depan. Kamu menemani saya kemana pun saya pergi. Ke sekolah, toko buku, bingbel, les Bahasa Inggris, mall, nonton film favorit saya, sampai ke restoran favorit saya. Kamu mengikuti semua aktivitas saya sehingga saya selalu merasa nyaman dan saya merasa bahwa sayalah cewek paling bahagia di dunia ini saat itu. Kita keliling kota Cirebon dan Kuningan. Kamu suka jalan-jalan, saya pun begitu. Kita sangat menikmati kebersamaan kita kala itu.


Waktu itu kita sempat berpetualangan ke curug yang berada di kaki Gunung Ciremai. Jalan menuju curug itu lumayan curam dan terjal. Saya dan kamu harus berjalan kaki sepanjang tiga kilometer untuk sampai ke tempat tujuan. Saya hampir nyerah di tengah perjalanan, kaki saya sudah tidak kuat lagi. Tapi kamu terus menyemangati saya. Kata kamu, ini belum seberapa dibanding perjuangan hidup yang akan kita lalui ke depan. Baru saat senja saya dan kamu pun sampai. Begitu dingin, kabut mulai menutup pandangan. Cahaya senja yang menyelimuti, begitu indah. Udara sangat dingin sekali tapi saya tidak peduli, saya malah main air sampai puas. Aneh, saat itu saya sama sekali tidak kedinginan. Mungkin karena ada kamu semua jadi begitu hangat.


Sampai tiba waktunya kamu harus kembali ke Yogjakarta untuk melanjutkan kuliah kamu yang sempat terhenti karena liburan semester. Tapi saya tak menyangka bahwa kebersamaan kita adalah yang pertama dan terakhir. Beberapa bulan kemudian, tepatnya setelah pengumuman kelulusan saya, kamu pamit pergi dan bilang hubungan kita ini tak akan bisa diteruskan lagi karena suatu saat kamu harus kembali pulang ke Manokwari – Papua. Saya harus siap, lebih tepatnya saya harus siap untuk tidak bertemu denganmu lagi.


Terlelap dipelukanku dengan senyum bibirmnu

Titik air mata di sudut keningmu

Semoga kau dengar pintaku walau dalam mimpimu

Terimakasih untuk semua ketulusanmu


Saya tidak pernah melihatmu lagi sampai sekarang padahal saya sangat berharap saat saya pergi ke Yogja untuk urusan kerja kemarin. Kamu masih ada di Yogja dan bisa bertemu kamu kembali. Tak apa tentang kita hanya tinggal masa lalu tapi setidaknya saya bisa melihatmu lagi dan berbicara walau hanya sekedar tanya kabar dan basa-basi belaka. Sayang sekali kamu sudah tidak ada di Yogja lagi padahal tempat tinggal sementara saya di Yogja dekat sekali dengan kost kamu bahkan dekat dengan kampus kamu dulu.


Tidak putus asa. Saya pun mencari kamu melalui internet. Saya tahu internet akan mempersempit ruang diantara kita. Setidaknya saya masih bisa berkomunikasi dengan kamu dalam jarak jauh dan sekali lagi, setidaknya saya tahu kabar kamu sekarang. Saya hanya bisa menatap miris layar yang ada dihadapan saya ketika namamu sama sekali tidak ada dalam daftar pencarian di Google. Saya pun teringat, bahwa kamu tidak suka internet. Kamu tidak suka dengan teknologi walau itu penting. Bagaimana lagi saya harus mencarimu? Saya tak mungkin menuju Manokwari hanya untuk menemui kamu. Saya tidak tahu alamat kamu dan saya tidak mau kamu terus-terusan menjadi bagian yang penting dalam hidup saya. Kamu hanya sebatas masa lalu.


Saya masih berharap suatu saat dalam keadaan yang berbeda. Saya dapat bertemu dengan kamu kembali walau harapan itu nihil. Saya yakin selama kamu masih ada di dunia, suatu saat… ya suatu saat… saat itu akan hadir untuk mempertemukan kamu dalam keadaan yang berbeda.


Lagu itu masih saja terdengar. Tanpa saya sadari tetesan air mata saya meleleh tapi buru-buru saya menghapusnya dan buru-buru saya mematikan lagu itu. Sekali lagi, saya tidak ingin hidup dengan masa lalu, saya ingin menatap lurus ke depan meski saya ingin sekali masa lalu itu bisa terulang kembali.


Adakah seseorang yang bisa saya cintai seperti saya mencintai kamu? Ketidakpercayaan itu telah membuat saya selalu hati-hati untuk kembali jatuh cinta dengan siapapun karena saya tidak ingin luka itu terlalu dalam bahkan dengan orang yang berbeda pun.


Tiba-tiba terdengar bunyi tanda masuknya pesan singkat pada ponsel yang telah saya letakan di atas meja komputer. Saya langsung membacanya.


From: +628574xxxxxx

Subject:: <….>

Sent: 18/05/09 8:12:41 PM

Met malem… Amel, neh aku Heru. Kamu msh pya no Ian Nugraha gak? Aku minta donk.


Saya tersentak membaca pesan itu. Bukan karena saya sama sekali tidak mengenali Ian Nugraha, bukan karena seseorang yang mengirim pesan singkat itu salah sambung. Nama panggilan saya bukan Amel tapi Nisa. Saya tersentak karena nama itu adalah nama Heru. Seseorang yang tadi ada dalam kenangan saya tapi saya tidak mau terlalu yakin dulu bahwa itu adalah Heru dalam kenangan saya. Masih banyak orang yang bernama Heru


Reply:

Heru mana ini?


From: +628574 xxxxxx

Subject:: <….>

Sent: 18/05/09 8:14:46 PM

Heru Yogja, temen satu kos Ian.


Deg, di Yogjakarta hanya ada satu nama Heru yang saya kenal. Cuma kamu, kamu Heru dalam kenangan saya. Mungkinkah. Jantung mendadak berdetak lebih cepat.


Reply:

Heru Persada?


From: +628574xxxxxx

Subject:: <….>

Sent: 18/05/09 8:17:23 PM

Yup betul. Gimana kabar Amel, sehat-sehat aja kan? Terus punya no hpnya Ian gak? Punya ku ilang neh.


Ternyata pengirim pesan singkat itu adalah kamu. Saya senang akhirnya saya menemukanmu walau hanya sebuah pesan singkat yang salah sambung. Tapi bagaimana bisa menjadi skenario seperti ini? Kebetulan sekali seolah Tuhan menjawab doa saya dengan cepat. Cukup saya akhirnya menemukanmu secara kebetulan walau saya tahu saya tidak akan pernah menemukan hatinya lagi.


Cirebon, Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar