Minggu, 06 September 2009

Berbeda

Aku dan dia kini duduk berhadapan di cafe tempat kami pernah sepakat untuk suatu komitmen cinta sebulan yang lalu. Saling diam, aku sibuk meredam emosiku dan entah dia sibuk apa dalam diamnya. Ini awal kami bertemu kembali setelah seminggu lamanya tak bertemu dan tak ada komunikasi sama sekali diantara kami. Sungguh, aku sendiri tak mengerti hubungan macam apa yang sedang aku jalani bersamanya kini.

Keheningan masih saja menyelimuti, apalagi pengunjung café terlihat sedikit. Hanya alunan musik lembut terdengar dari speaker. Sebenarnya suasana café lumayan romantis tapi sayang sekali aku tidak merasakan keromantisan itu. Aneh, padahal aku sedang bersamanya, kekasihku.

“Kita beda, Rin.” Danang akhirnya memecah kesunyian diantara kami.

Aku tercengang menatapnya. Tak mengerti apa maksudnya dengan perbedaan diantara kami, karena kurasa perbedaan itu tidak menjadi suatu masalah.

“Maksud kamu?”

“Kultur kita beda, Rin.”

Aku masih menatapnya tidak mengerti. Menuntut untuk diberikan penjelasan lebih detail mengenai perbedaan yang dia maksud, terutama perbedaan kultur.

“Kadang aku juga berpikir akan susah menyatukan kultur. Kamu sudah terbiasa berada dalam suatu keluarga yang ada, akan sulit untuk berbeda.” Jelasnya.

Aku mendesah pelan. Resah. Tiba-tiba seperti ada yang meninju hulu hatiku berkali-kali tanpa bisa aku kendalikan rasa sakitku. Perbedaan kultur. Aku akui kami memang berbeda. Beda latar belakang, budaya, bahkan mungkin beda status sosial tapi kurasa itu masih wajar. Perbedaan itu masih bisa disatukan menurutku dan bukan masalah. Bukankah karena perbedaan itu justrru bisa saling mengisi satu sama lain, menutupi kekurangan masing-masing.

Aku berasal dari budaya betawi dengan pembawaanku yang apa adanya dan jarang sekali basa-basi tidak penting jika tidak diperlukan. Sementara Danang berasal dari budaya Jawa yang lembut dan penuh dengan basa-basi demi kesopanan. Jujur, aku menyukai budaya Jawa terutama Jawa Tengah. Aku suka dengan lembutnya, sopan santunnya, dan aku suka dengan tutur katanya yang enak di dengar. Aku akui kesulitanku cuma satu, aku sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Tapi perbedaan itu bukan sesuatu yang besar bahkan masih bisa ditoleran.

“Akan sulit? Setidaknya aku mau belajar memasuki semua aspek kehidupan kamu.” Tegasku berusaha meyakinkannya.

“Terlalu kompleks untuk kamu mengerti, Rin.”

Aku menatapnya dengan perasaan kecewa. Kenapa dia tidak yakin akan kehadiranku bisa mengimbangi perbedaan di anatara kami. Lantas untuk apa saat ini kami bersama? Apa artinya sebuah hubungan? Tak sadarkah, bahkan aku dan dia beda jenis kelamin. Dari hal sekecil itu saja sudah tampak sekali perbedaannya.

“Baiklah. Apa mau kamu?” Tanyaku akhirnya masih dengan menahan rasa sakit yang masih saja membuat debar jantungku berdegup lebih dari kecepatan normal.

“Entahlah. Perlu berpikir dan membutuhkan waktu.”

Aku tersenyum dan masih ingin berusaha meyakinkannya.

“Kamu tau, gak gampang buat aku ketika harus pindah dari Jakarta ke Cirebon. Aku punya segalanya di Jakarta. Aku punya teman, sahabat, nenek-kakek, sepupu, dan aku punya rumah yang sangat nyaman. Di Cirebon? Aku gak punya siapa-siapa selain satu keluarga utuh. Dan sekarang saat di Cirebon aku sudah punya segalanya, aku harus kembali lagi ke Jakarta. Itu suatu pukulan buat aku karena aku tau semuanya akan berawal dari nol lagi.”

“Itu beda banget!” Potongnya.

“Apanya yang beda? Toh sesulit apapun aku pasti harus menghadapinya.”

“Aku juga dulu berpikir seperti itu. Aku sangat percaya diri tapi apa yang aku dapat? Sulit memang aku terima waktu itu tapi pada akhirnya realitaslah yang bicara.”

“Jadi apa yang harus aku lakuin supaya kamu yakin?” Tanyaku lirih.

“Aku gak tau.”

“Kamu sayang aku?” Aku menatapnya tajam dan penuh harap.

Entahlah aku sendiri juga tidak tahu apakah rasa cinta itu memang benar-benar ada untuknya atau tidak. Namun kurasakan harapan untuk bersamanya terlalu besar. Padahal aku benci pada harapan itu.

Kuakui tak pernah terungkapkan kata cinta diantara kami. Sebulan yang lalu Danang datang menawariku untuk menjalankan suatu hubungan dengan komitmen. Aku terima, karena kupikir sudah saatnya aku menjalin suatu hubungan serius. Hubungan yang aneh, menurutku.

“Aku juga gak tau apa yang sebenarnya terjadi. Waktu kamu mau berproses dengan aku dan sepakat untuk pacaran, aku seperti mendapatkan air di padang pasir tapi aku gak tau apakah rasa sayang itu memang benar-benar ada atau tidak.”

Penjelasan tadi membuat hatiku tersayat. Aku ingin menangis. Walau lukaku ini tak menimbulkan darah tapi terasa perih sekali. Tidakkah ia merasakannya. Perbedaan? Aku sangat benci itu dijadikan suatu alasan dan masalah. Dari lahir aku hidup dengan perbedaan dan aku tahu porsi perbedaan mana yang harus aku kendalikan, yang harus aku satukan, dan yang harus aku hindarkan. Aku sudah cukup tahu! Namun kurasa perbedaan aku dan Danang sangat cetek sekali untuk dijadikan masalah.

“Maaf aku masih butuh waktu.” Katanya lalu beranjak pergi meninggalkan aku yang masih saja harus menahan perih.

Aku masih ingin bersamanya untuk mengetahui seberapa jauh aku bisa bertahan menghadapi hubungan seperti ini. Tetapi aku juga tidak akan menghalangi jika suatu saat dia ingin pergi. Satu per satu air mataku mengalir. Aku menangis untuk mengumpulkan kekuatan bahwa aku mampu bertahan.

Cirebon, Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar